Terungkap, Ini Alasan Mengapa TBC di Indonesia Susah Diatasi

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, The Interview
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta, VIVA – Pemerintah Indonesia berkomitmen mengatasi penyakit tuberkulosis (TBC) dengan cara memperbaiki sistem deteksi dan pelaporan sehingga akan mencapai notifikasi kasus tertinggi. Hal ini sudah terjadi pada tahun 2022 dan 2023. Sebanyak lebih dari 724.000 kasus TBC baru telah ditemukan di tahun 2022 kemudian jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus di 2023. Jumlah ini tentu melonjak sangat tinggi dibanding semasa pandemi COVID-19 yang rata-rata penemuannya d bawah 600.000 per tahun.

Tetap Pakai Masker! Transportasi Umum Bisa Jadi Sarang Penularan TBC

Kesulitan mengidentifikasi itulah yang membuat kasus TBC semakin banyak di Indonesia, sebab penyakit menular yang disebabkan karena bakteri Mycobacterium tuberculosis harus segera ditangani sejak dini. Scroll untuk informasi selengkapnya!

"Kan waktu abis COVID, 2018-2019 itu paling tinggi kan 545 ribu yang ketemu ya dari 1 juta. Nah ini yang menyebabkan kenapa kita susah tertangani karena ini penyakit menular, kalau yang ketemunya aja sedikit kan susah," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, saat ditemui di Jakarta, Rabu 22 Januari 2025. 

Buruh hingga Pegawai BUMN, Inilah Pekerjaan yang Berisiko Tertular TBC

ilustrasi masker mencegah penularan influenza, COVID-19, pneumonia dan TBC

Photo :
  • Pixabay

Pada tahun 2024, notifikasi kasus TBC sudah mengalami kenaikan yakni sebanyak 860.100 dari estimasi kasus sebanyak 1.092.000. Dari jumlah tersebut, sebanyak 751.574 penderita TBC telah diobati.

Kebijakan Baru Kemenkes, Kontak Serumah dengan Penderita TBC Harus Segera Lakukan Ini

"Jadi 2020 abis COVID kita mulai dorong bisa dapat tuh naik jadi 700 ribu. 2023 jadi 800 ribu. Nah 2024 ini saya kasih target 900 ribu kayaknya tercapai. Sehingga diharapkan tahun 2025 bisa 1 juta. Kalau 1 juta kan sudah hampir 100 persen sudah terdeteksi," paparnya. 

Deteksi TBC ini cukup mirip dengan COVID-19, di mana jika penderitanya tidak dites, dideteksi, dan dilaporkan maka angka kasusnya akan terlihat rendah sehingga terjadi under reporting. Akibatnya, pengidap TBC akan berkeliaran dan berpotensi menularkan penyakitnya karena tidak segera diobati. Jika kondisi ini dibiarkan, maka penularan TBC di Indonesia bisa semakin luas.

Penderita TBC yang sudah terkonfirmasi, nantinya diharuskan minum obat sesuai jenis penyakitnya. Minum obat TBC memang memakan waktu yang cukup panjang sekitar 6 bulan bahkan lebih.

"Mereka tinggal minum obat karena obatnya efektif beda sama COVID. Ini obatnya kalau ketahuan, kasih obat, sembuh. Cuma obatnya masalahnya banyak dan butuh waktu," kata Budi Gunadi Sadikin.

Ilustrasi pasien TBC.

Jangan Dipecat, Kemenkes Imbau Perusahaan Lakukan Ini pada Karyawan yang Sakit TBC

Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dr. Ina Agustina Isturini, mengimbau agar perusahaan tidak perlu memecat karyawannya yang mengidap penyakit Tuberkulosis.

img_title
VIVA.co.id
22 Januari 2025