Kenali Bahaya Penyakit Vulvovaginitis, IDI Cianjur Berikan Informasi Pengobatan
- shisuka dari Freepik
VIVA – Menurut informasi dari idicianjur.org, salah satu penyakit yang dapat rentan terjadi pada wanita adalah vulvovaginitis. Penyakit ini adalah peradangan atau iritasi pada vagina dan vulva (bagian luar alat kelamin wanita). Kondisi ini dapat terjadi pada wanita dari segala usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Biasanya ditandai dengan rasa gatal dan perih di vagina serta bibir vagina (vulva).
IDI Kota Cianjur adalah cabang dari organisasi profesi kedokteran yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di wilayah tersebut. IDI Cianjur berkomitmen untuk memberikan pelatihan dan edukasi kesehatan pada masyarakat.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Cianjur saat ini adalah dr. Ronny Hadyanto, yang dilantik untuk masa jabatan 2021-2024. Dr. Ronny menyampaikan harapan agar IDI Cianjur dapat lebih maju dalam pengembangan profesi dokter, terutama dalam meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
Di bawah kepemimpinannya, dr. Ronny Hadyanto telah menekankan pentingnya digitalisasi pelayanan untuk mempermudah akses layanan kesehatan bagi masyarakat. Ia juga berkomitmen untuk meningkatkan kompetensi para dokter melalui seminar dan workshop, serta mendukung pengembangan berkelanjutan dalam profesi kedokteran.
Saat ini IDI Cianjur melakukan penelitian lanjutkan terkait penyakit vulvovaginitis serta pengobatan yang tepat bagi penderitanya.
Apa saja penyebab terjadinya penyakit vulvovaginitis?
Dilansir dari laman https://idicianjur.org, vulvovaginitis adalah kondisi peradangan yang terjadi pada vulva dan vagina, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Berikut adalah penyebab utama terjadinya vulvovaginitis meliputi:
1. Infeksi jamur
Salah satu penyebab vulvovaginitis yang paling umum adalah infeksi jamur. Biasanya, gejalanya adalah gatal, kemerahan, dan keputihan yang tebal dan berwarna putih seperti keju cottage.
2. Infeksi bakteri
Ketidakseimbangan bakteri baik dan jahat di vagina juga dapat menyebabkan infeksi bakteri. Bakteri seperti Gardnerella, Streptococcus, dan Staphylococcus dapat berkembang biak secara berlebihan, menyebabkan keputihan dan bau amis.
3. Adanya penyakit menular seksual (PMS)
Infeksi seperti klamidia, gonore, herpes, dan trikomoniasis dapat menyebabkan vulvovaginitis, yang biasanya ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman dan dapat menyebabkan berbagai gejala seperti nyeri dan keputihan yang tidak biasa.
4. Atrofi vagina
Penurunan kadar estrogen, terutama setelah menopause, dapat menyebabkan penipisan dinding vagina dan peradangan, yang mengarah pada gejala vulvovaginitis seperti kekeringan dan gatal.
Apa saja obat yang direkomendasikan untuk penyakit vulvovaginitis?.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah merangkum beberapa obat yang dapat mengatasi penyakit vulvovaginitis. Untuk mengatasi vulvovaginitis, pengobatan tergantung pada penyebab yang mendasarinya, seperti infeksi jamur, bakteri, atau parasit. Berikut adalah beberapa obat yang direkomendasikan meliputi:
1. Obat Fluconazole
Fluconazole 150 mg kapsul adalah obat anti jamur yang digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada area vagina. Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi akibat jamur, khususnya infeksi candida pada vagina, mulut, tenggorokan, dan aliran darah.
2. Obat Clotrimazole
Untuk mengobati infeksi jamur, obat lain yang mungkin disarankan adalah clotrimazole. Kutu air, kurap, dan panu adalah beberapa akibat infeksi jamur yang dapat diobati dengan clotrimazole.
3. Obat Neo Gynoxa Ovula
Obat ini mengandung metronidazole dan nystatin, efektif untuk mengatasi infeksi campuran yang disebabkan oleh jamur dan parasit.
4. Terapi Hormon
Selain mengonsumsi obat, dokter juga mungkin menyarankan penderita vulvovaginitis untuk terapi hormon. Untuk vulvovaginitis yang disebabkan oleh penurunan kadar estrogen, terapi pengganti hormon mungkin diperlukan.
Penggunaan obat-obatan ini harus berdasarkan diagnosis yang tepat oleh dokter. Selain itu, penting untuk mengikuti petunjuk penggunaan dan dosis yang dianjurkan agar pengobatan efektif dan mengurangi risiko kekambuhan. Jika gejala tidak membaik setelah pengobatan, konsultasikan kembali dengan dokter.