Anemia, Musuh Senyap yang Mengintai Kesehatan Perempuan

Ilustrasi anemia, putus asa, pusing
Sumber :
  • Pixabay/ Counselling

Jakarta, VIVA –  Anemia defisiensi besi masih menjadi permasalahan kesehatan yang mendesak, tidak hanya di tingkat global tetapi juga di Indonesia. Masalah ini telah berlangsung sejak lama, terutama di kalangan anak-anak yang merupakan kelompok usia paling rentan. Anak-anak di bawah usia lima tahun menempati posisi tertinggi dalam kasus anemia defisiensi besi, menjadikan mereka prioritas utama dalam upaya pencegahan kondisi ini.

Namun, fakta ini menjadi alarm serius bagi seluruh pihak. Jika tidak ditangani dengan baik, anemia defisiensi besi dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan anak di masa depan, menghambat perkembangan fisik dan mental mereka. Hal ini pada akhirnya dapat menggagalkan tujuan besar Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.

“Yang namanya anemia, terutama anemia kurang besi, itu adalah klasik yang ternyata sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tapi kok sampai sekarang gak beres-beres gitu ya,” ungkap Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, Medical Science Director di Danone Indonesia.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa anemia defisiensi besi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga tantangan bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Kekurangan zat besi tidak hanya berdampak pada fisik anak, tetapi juga pada perkembangan otak mereka.

“Nah, ini adalah hal yang paling penting untuk perkembangan otak. Ada dua, satu nutrisi dan satu stimulasi. Jadi kalau nutrisinya baik, makanya nutrisinya bagus. Nutrisinya baik, optimal, makanya dilakukan stimulasi dan care, juga akan mengalami perkembangan susunan secara khusus. Nah, stimulasi dua arah ya, jadi jangan satu arah,” jelas Prof. DR. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K), seorang dokter anak ahli tumbuh kembang pediatri sosial.

Tidak hanya berdampak pada anak-anak, anemia defisiensi besi juga membawa efek jangka panjang dalam siklus kehidupan perempuan. Menurut Dr. dr. Rima Irwinda, Sp.OG, Subsp. KFM, seorang dokter kandungan ahli fetomaternal, anemia yang dialami oleh ibu hamil dapat menimbulkan risiko besar bagi ibu dan janin yang dikandungnya.

“Kalau kita melihat life cycle seorang perempuan yang mengalami anemia, pada saat kehamilan bisa menyebabkan anemia pada anak yang dilahirkan. Di mana anak tersebut bisa menjadi remaja yang juga menderita anemia, lalu kemudian dewasa, dan apabila yang dilahirkan ini perempuan, maka berikutnya akan menjadi seorang ibu. Nah, konsekuensinya apa? Kalau terjadi anemia pada kehamilan, maka resikonya untuk ibu ada dua, yaitu preeklampsia dan perdarahan fosfato. Sedangkan pada janin, resikonya pertumbuhan jadi terhambat,” jelasnya.

Upaya pencegahan anemia defisiensi besi memang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui program pemberian tablet tambah darah. Namun, tanpa edukasi yang memadai, program ini tidak akan berjalan optimal.

Riwayat Penyakit Babe Cabita, Pernah Kritis Karena Anemia Aplastik

“Pada saat kita memberikan tablet tambah darah, ataupun nanti kemenkes merubah menjadi MMS, yang penting adalah melakukan edukasi fungsi dari tablet tersebut apa,” ungkap Dr. dr. Rima Irwinda.

Ia juga menambahkan bahwa edukasi harus dilakukan dengan cara yang tepat, agar masyarakat memahami manfaat sebenarnya dari tablet tersebut. “Karena kalau kita tidak memberitahukan fungsinya, mereka tidak minum obatnya. Mungkin mereka berpikir, tensi saya normal, kalau saya minum tablet tambah darah, berarti tidak ada hubungan antara tensi dan tablet tambah darah. Nah apa yang bisa di edukasi, menurut saya jangan hanya memberitahu bahwa pencegah berat badan lahir rendah atau stunting. Karena nanti pasiennya akan mengatakan, saya waktu itu kemarin bayinya gede kok, tidak kecil.”

Cegah Anemia, Ahli Gizi Sarankan Minum Ini saat Ramadhan

Mengatasi anemia defisiensi besi membutuhkan sinergi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Selain pemberian tablet tambah darah, fokus pada peningkatan asupan gizi seimbang dan pemberian stimulasi pada anak juga menjadi langkah penting.

Dengan edukasi yang tepat dan intervensi gizi yang optimal, diharapkan Indonesia mampu menekan angka anemia defisiensi besi. Ini bukan hanya demi kesehatan generasi muda, tetapi juga demi masa depan bangsa yang lebih cerah menuju Indonesia Emas 2045.

Risiko Anemia pada Kehamilan, Ibu Bisa Alami Gagal Jantung hingga Bayi Alami Gangguan Kecerdasan
Ilustrasi balita.

Stunting dan Anemia Masih Tinggi di Indonesia, Hasil Studi Temukan Solusi Mengatasinya

Isu stunting dan anemia hingga kini masih jadi perhatian pemerintah di Indonesia. Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan prevalensi stunting 21,6 persen

img_title
VIVA.co.id
9 November 2024