Silent Pandemic Mengintai: Kenali Gejala Resistensi Antibiotik Sebelum Terlambat
Jakarta, VIVA – Resistensi antibiotik menjadi salah satu masalah kesehatan yang serius. Bahkan dalam sebuah penelitian digadang-gadang 39 juta orang di tahun 2050 meninggal dunia akibat resistensi antibiotik.
Resistensi antibiotik adalah kondisi dimana bakteri, virus, jamur dan parasit tidak mampu dimatikan oleh antibiotik. Resistensi bakteri terjadi ketika bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang pada awalnya efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut.
"Kenapa bahaya banget? Â resistensi antibiotik ini kita bilangnya silent pandemic. Penelitian menyatakan tahun 2050 gara-gara resisten antibiotik 39 juta orang meninggal di dunia. Itu banyak, itu lebih banyak dari COVID-19 tapi itu kita enggak sadar, makanya disebut silent pandemic," kata dokter Ayman Alatas dikutip dari tayangan YouTube Gritte Agatha.
Lebih lanjut ketika seseorang yang mengalami resisten antibiotik sendiri juga akan sulit pengobatannya. Bahkan dalam sejumlah kasus untuk pengobatan mereka yang resisten antibiotik akan mendapatkan pengobatan kombinasi dua antibiotik.
"Misalkan ada pasien ada infeksi dalam darah, dokter spesialis mikrobiologi klinik konsultasi ke spesialis penyakit dalam diambil dicek sampel darahnya. Kita periksa di laboratorium kita tunggu ada enggak bakterinya. Kita periksa dengan berbagai obat nanti data tersebut kalau resisten semua kita liat mana yang mungkin paling enggak resisten walaupun itu resisten. Atau juga dengan kombinasi dua antibiotik, " ujarnya.
Tidak hanya itu saja biaya pengobatannya pun juga semakin meningkat. Bahkan parahnya lagi mereka yang mengalami resisten antibiotik memiliki risiko untuk meninggal juga lebih tinggi.
"Pada dasarnya harga obatnya jadi jauh lebih mahal, pasien akan lebih lama length of staynya di rumah sakit, perawatannya lebih lama dan kemungkinan meninggalnya jauh lebih tinggi. Itu banyak terjadi, mengerikan sekali," ujarnya.
Di sisi lain, terkait dengan gejala seseorang yang mengalami resisten antibiotik. Ayman menjelaskan bahwa gejalanya akan sulit untuk dirasakan oleh pasien.
"Bakteri yang resisten ini menginfeksi manusia akhirnya menimbulkan gejala. Infeksinya macem-macem, bisa di otak, di paru-paru, bisa di saluran cerna, di kulit, tergantung jenis bakterinya. Tapi proses bakteri ini jadi resisten karena penggunaan antibiotik yang tidak bijak karena residu ini kita enggak terasa. Tapi sewaktu-waktu bisa menginfeksi kita dan mungkin bisa menyebar ke orang lain," kata dia.