WHO Tetapkan TBC Penyakit Menular Paling Mematikan

Ilustrasi tuberkulosis.
Sumber :

Jakarta, VIVA – Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular mematikan nomor satu saat ini. Dalam laporan WHO baru-baru ini diketahui sebanyak 10,8 juta orang terjangkit TBC tahun lalu dan baru 8,2 juta yang terdiagnosis.

PPTI dan Medco Foundation Bersama Perangi TBC dengan Metode 'Jemput Bola'

Sementara itu ada sekitar 1,25 juta orang meninggal karena TBC. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan mencatat terjadi tren peningkatan kasus TBC di Indonesia pada tahun 2023 yakni mencapai 1.060.000 dengan angka kematian mencapai 134.000 per tahun.

BPOM Targetkan WHO Maturity Level 4 untuk Tingkatkan Kualitas Pengawasan Kesehatan Masyarakat

Angka kasus tersebut menempatkan Indonesia berada di posisi kedua setelah India dengan kasus TBC terbanyak. TBC sendiri masuk dalam program prioritas Kementerian Kesehatan di era kepemimpinan Prabowo Subianto.

Berkaitan dengan TBC, spesialis paru dari RSPI Bintaro, Dr. dr. Raden Rara Diah Handayani, Sphi.P(K) mengungkap seseorang dengan kekebalan tubuh yang rendah akan lebih mudah untuk langsung menjadi sakit, begitu juga pada anak di bawah 5 tahun dapat mengalami sakit TB yang berat.

Tandanya Mirip, Ini yang Membedakan Batuk TBC dan Pneumonia

Stop penyakit Tuberkulosis.

Photo :
  • http://revolusiilmiah.blogspot.com/2014/04/5-tips-cara-pencegahan-penularan.html

“Pada orang dengan kekebalan tubuh yang baik perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi reaktivasi menjadi sakit TBC. Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan 30-50% orang yang kontak serumah dengan pasien TBC telah mengalami infeksi TBC laten dan diprediksi 10-15% akan menjadi sakit TBC atau TB aktif terutama bila mengalami penurunan imun seperti yang terjadi pada penderita HIV yang tidak diobati, DM dengan gula darah tidak terkendali, gizi buruk, dan perokok serta pengguna alkohol,” kata dia. 

Dia melanjutkan, WHO sendiri merekomendasikan pada kontak serumah yang telah terinfeksi atau infeksi TB laten untuk diberikan Terapi Pencegahan TB (TPT) berupa beberapa obat seperti rifampentin dan isoniazid selama 3 bulan (disebut 3HP) atau 1 bulan penuh (1HP), atau INH 6 bulan atau 3 bulan INH rifampisin (3 HR). 

“Selain pencegahan dengan TPT dan vaksinasi, hal yang menjadi penting adalah menjaga kesehatan secara aktif dengan memenuhi kebutuhan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat cukup serta mengontrol penyakit komorbid terutama DM dan HIV dengan pengobatan yang adekuat, serta olahraga rutin,” sarannya. 

Bagi pasien yang terdiagnosis TB, biasanya dokter akan memberikan obat dalam dua tahap yakni insentif dan lanjutan selama 6 bulan , terdiri dari 2 bulan rifampisin, isoniazid,etambutol dan pirazinamid dilanjutkan 4 bulan rifampisin dan pirazinamid (2RHZE/4RH).

Ilustrasi tuberkulosis.

Photo :
  • http://sirupgurah.com

Pada panduan pengobatan TB ada  beberapa hal yang juga penting seperti menjaga kesehatan tubuh dengan nutrisi yang cukup baik. Untuk pemberian obat-obatan imun harus di bawah pengawasan dokter yang merawat karena dipengaruhi kondisi pasien. 

Pemberian Obat-Obatan Imun

Terkait dengan pemberian obat-obatan imun atau imunomodulator, Farmakolog Molekuler Prof. Raymond Tjandrawinata memaparkan hasil uji klinik imunomodulator terhadap pasien TB paru. 

Uji klinik imunomodulator dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) terhadap penderita TB paru telah dilakukan oleh beberapa ahli. Parameter efikasi dilihat dari perbaikan klinik (konversi sputum BTA) serta perbaikan radiologik (foto toraks). 

Imunomodulator yang telah teruji klinis adalah Stimuno yang dikembangkan secara modern dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri). Selain teruji klinis, Stimuno juga telah masuk Formularium Fitofarmaka yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan.

Obat yang dikembangkan oleh PT Dexa Medica ini memiliki tiga aksi yakni untuk pencegahan, pengobatan kasus, penyembuhan kasus, hingga mencegah agar infeksi tidak menyebar. 

Uji klinik obat tersebut terhadap penderita TB paru telah dilakukan oleh beberapa ahli. Para ahli melakukan uji klinik dengan parameter efikasi yang dilihat dari perbaikan klinik (konversi sputum BTA) serta perbaikan radiologik (foto toraks).

Ilustrasi pasien TBC.

Photo :
  • Dokumentasi IPB

Hasil studi klinik oleh Amin, dkk dilakukan selama enam bulan terapi obat yakni antara kelompok kontrol yang mendapat terapi obat standar TB (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pyrazinamid) dan kelompok uji yang  mendapat terapi obat standar TB ditambah Stimuno yang dikonsumsi sehari tiga kali. 

Setelah 1 minggu terapi, proporsi pasien yang mengalami konversi sputum BTA pada kelompok uji (52.9%) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (39.4%).

“Secara statistik, hal ini menunjukkan trend yang lebih baik ke arah Stimuno dan memiliki dampak klinis yang besar yaitu pasien dengan konversi sputum BTA tidak akan menjadi sumber penularan TB paru ke lingkungannya. Selain itu, perbaikan imunitas pasien juga terlihat sehingga dapat disimpulkan bahwa Stimuno bekerja secara sinergis dengan terapi obat TB dalam pencapaian eradikasi pathogen,” papar Director of Business Development and Scientific Affairs Dexa Group Prof. Raymond Tjandrawinata. 

Lebih lanjut dikatakan Prof Raymond, uji klinis menunjukkan stimuno tidak memiliki efek samping secara signifikan pada penggunaan jangka panjang selama 6 bulan 

"Apalagi ini memiliki tiga aksi untuk memperbaiki sistem imun atau triple action yakni membantu memproduksi lebih banyak antibodi, membantu mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, dan membantu mengoptimalkan daya tahan tubuh,” kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya