IDI Tegaskan Dokter Tak Boleh Jadi Influencer Sampai Promosikan Produk Kesehatan
- Freepik
Jakarta, VIVA – Penggunaan media sosial di indonesia saat ini bisa dilakukan oleh siap saja bahkan dari kalangan usia berapa saja. Media sosial sebenarnya bukan melulu soal hal-hal negatif seperti kabar palsu atau hoaks, tetapi juga ada edukasi yang disampaikan di sana.
Salah satunya adalah perihal masalah kesehatan dan kecantikan yang sering kali melibatkan para dokter ternama. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Dokter-dokter tersebut membuat konten kreatif hingga akhirnya mempromosikan produk kesehatan maupun kecantikan lewat akun pribadinya.
Menyoroti fenomena ini, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran-Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) Djoko Widyarto menegaskan ada aturan kode etik yang dilanggar dari praktik tersebut.
Sebenarnya, para dokter yang tergabung dalam keanggotaan IDI tidak boleh melakukan promosi atau menjadi influencer suatu produk kesehatan.
"Hal-hal itu tidak benar. Ada 2 fatwa MKEK, nomor 20 dan 29, sudah diatur bahwa dokter tidak boleh berpromosi kecuali iklan layanan masyarakat," kata Djoko Widyarto, mengutip video Instagram @lambe_turah, Senin 18 November 2024.
Para dokter yang sejauh ini sudah sering menggunakan media sosial sebagai sarana edukasi hingga meraih ribuan hingga jutaan pengikut, disarankan untuk menanggalkan gelar dokter yang dimiliki apabila hendak mempromosikan sebuah produk.
Misalnya ketika harus tampil di acara televisi atau konten media sosial, dokter tersebut bisa menyamarkan gelarnya menjadi seorang praktisi kesehatan.
"Kalau mau berpromosi tidak boleh menggunakan gelar dokter, harus ditanggalkan, tidak boleh gelar dokter dipakai untuk promosi," tegasnya.
"Kita lihat banyak di TV disebutkan hanya praktisi kesehatan padahal mereka dokter. Nah itu fatwa kita mengatakan bahwa seorang dokter tidak boleh mempromosikan suatu produk yang mengklaim ada penyembuhan penyakit, kesehatan, atau kecantikan. Tidak boleh," ujarnya.
Apalagi, belakangan ini sedang ramai pembahasan soal masalah mafia skincare yang dimulai oleh Doktif atau Dokter Detektif. Akibatnya, banyak nama pengusaha skincare terseret dalam kasus ini hingga melibatkan sejumlah dokter yang punya produk kecantikan tersendiri.
Influencer kecantikan atau kesehatan juga banyak yang berasal dari kalangan orang biasa dengan kursus dan pengetahuan yang dipelajari sendiri.
Djoko Widyarto mengkhawatirkan hal ini justru dapat menyesatkan masyarakat dengan informasi yang kredibilitasnya belum bisa dipercaya seratus persen.
Sebab, untuk menyampaikan informasi terkait kesehatan hingga kecantikan, diperlukan sumber yang terpercaya mulai dari hasil penelitian hingga data yang diakui oleh pegiat bidang ilmiah.
"Dia harus mendapat saran dari para ahli, harus didokumentasikan dengan baik, dipublikasikan di jurnal ilmiah, dan diterima oleh masyarakat ilmiah, itu boleh dilakukan. Tapi kalau bukan itu, tidak diakui secara medis," jelasnya.
"Kami profesi ini sangat concern dengan masyarakat jangan sampai masyarakat kita dirugikan karena ketidaktahuan kalau pemberitahuannya tidak sesuai dengan fakta. Itu tidak benar dan tidak boleh," tambahnya.