Konsumsi Protein Hewani di Indonesia Rendah, Padahal Bisa Cegah Stunting Hingga Bantu Pertumbuhan

Daging ayam.
Sumber :
  • Pixabay

Jakarta, VIVA – Pemberian gizi seimbang diperlukan untuk anak-anak agar bisa tumbuh sehat. Oleh karena itu, studi untuk mengukur kecukupan gizi anak-anak Indonesia pun dilakukan oleh Japfa, Yayasan Edufarmers bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Universitas Indonesia (PKGK UI).

Emosi Diminta Bersihkan Rumah, Anak Tebas Ibu Kandung di Makassar

Sebanyak lebih dari 1.000 anak sekolah dasar, taman kanak-kanak dan balita mendapatkan makanan bergizi pada Mei-Juni 2024 lalu, di 5 kota yaitu Padang, Sragen, Mempawah, Malang dan Makassar. Scroll untuk informasi selengkapnya!

Studi ini menguji 3 model pemberian makan bergizi, yakni Ready to Eat(RTE), Ready to Cook (RTC) dan Swakelola. Tujuannya adalah untuk menganilisis efektivitas setiap model sekaligus memantau proses produksi, pemenuhan kebutuhan gizi, hingga distribusinya.

Masalah Utang hingga Asmara Sesama Jenis di Balik Pembunuhan Bocah 5 Tahun

Direktur Corporate Affairs, Rachmat Indrajaya mengungkapkan bahwa konsumsi protein hewani di Indonesia masih tergolong rendah.

“Terlebih jika dibandingkan dengan negara maju dan beberapa negara ASEAN lainnya, kata dia saat Konferensi Pers Makan Bergizi Bersama JAPFA, di Jakarta, Rabu 25 September 2024.

Anak 9 Tahun Diculik Sepulang Sekolah, Polisi: Modus Orang Tua Sakit

Seafood

Photo :
  • Pixabay/ Public Domain Pictures

Protein hewani sendiri dinilai efektif untuk mencegah stunting. Selain itu, kandungan zat gizi lengkap dan vitamin dalam pangan hewani sangat penting untuk mendukung dan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Studi ini disiapkan selama tiga bulan, mulai dari konsep model pemberian makan hingga pemilihan lokasi, sebelum akhirnya disosialisasikan pada awal Mei 2024 lalu. 

Wilayah cakupan studi meliputi daerah sekitar unit operasional Japfa, yakni SDN 06 Batang Anai di Padang, Sumatera Selatan; SDN 01 Duyungan di Sragen, Jawa Tengah; Posyandu Kecamatan Bululawang di Malang, Jawa Timur; SDN 03 Sungai Pinyuh di Mempawah, Kalimantan Barat; serta SD Bugatun Mubarakah dan TK Asoka di Makassar, Sulawesi Selatan.

Selama 6 minggu berturut-turut, setiap wilayah diuji coba selama 10 hari untuk setiap model pemberian makanan, yang kemudian diukur dan dievaluasi angka kecukupan gizi dan efektivitas pelaksanaannya. 

Ahli gizi kesehatan masyarakat PKGK UI, Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, menyampaikan, dari observasi lapangan, ditemukan konsumsi protein hewani masih relatif rendah, kecuali telur

“Selain itu, sebanyak 63 persen siswa tidak terbiasa membawa bekal. Meskipun demikian, status gizi siswa dilihat dari berat dan tinggi badan, tergolong normal berdasarkan standar WHO dan Kemenkes,” ungkapnya.

Dari ketiga model pemberian makanan bergizi yang dilakukan, Prof. Fika melanjutkan, model Swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi di antara siswa dengan persentase 84 persen, diikuti oleh Ready to Cook (RTC) dengan persentase 83 persen.

Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk atau kurang, berkurang 2,8 persen pasca program. Program ini berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, terutama dalam hal protein dan buah yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa. 

I Dewa Made Agung, Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR), mengungkapkan pentingnya kolaborasi multi stakeholder dalam mendukung keberhasilan program makan bergizi. Yang tidak kalah penting, edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi, serta pengelolaan food waste perlu diberikan kepada anak dan orangtua.

“Studi percontohan yang kami lakukan dapat menjadi referensi penting untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah. Dari studi ini juga dapat dilihat penyusunan rentang biaya yang perlu disesuaikan dengan daerahnya,” kata dia.

“Selain itu, perlunya memastikan bahwa produsen menghasilkan bahan makanan yang berkualitas dan terjamin keamanan pangannya, serta higienitas dalam proses produksi untuk hasil yang optimal. Seperti daging ayam yang berasal dari rumah potong ayam yang memenuhi standar dan memiliki sertifikat NKV,” tambah Dewa.

Diharapkan, hasil studi ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.

“Tentunya kami mendukung dan terbuka untuk berkolaborasi lebih lanjut dalam penyediaan protein hewani guna meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia,” tutup Rachmat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya