Kaget! Ternyata Ini Manfaat Tersembunyi di Balik Label Nutri-Level
- Viva.co.id/Anisa W
Jakarta, VIVA – Menurut survei Kementerian Kesehatan tahun 2014, sekitar 29,7 persen penduduk Indonesia sudah mengonsumsi Gula, Garam dan Lemak (GGL) di atas standar. Melihat hal ini pemerintah memunculkan wacana penerapan labelisasi tingkat risiko dari GGL pada pangan kemasan.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Agung Laksono mengungkap, saat ini penyakit stroke, jantung dan diabetes menjadi tiga besar penyebab kematian di Indonesia, dan karena itu perlu adanya peraturan untuk pengendalian konsumsi GGL.
“Salah satu penyebab munculnya penyakit tersebut adalah konsumsi GGL yang berlebihan,” kata dia.
Mengingat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, Pemerintah Indonesia berupaya melakukan penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) melalui kebijakan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan PTM, dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, termasuk di dalamnya menyebutkan pengendalian PTM melalui pengendalian konsumsi GGL.
Sementara itu, Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyebutkan salah satu faktor penyebab PTM adalah pola makan tidak sehat, termasuk konsumsi GGL. Dalam mengendalikan PTM tersebut, WHO merekomendasikan beberapa kebijakan yang dapat diterapkan, di antaranya melalui pelabelan gizi pangan yang merupakan kewenangan dan tugas BPOM.
“Salah satu strategi pengendalian konsumsi GGL adalah melalui penetapan pencantuman informasi nilai gizi (ING), termasuk informasi kandungan GGL, pada pangan olahan dan/atau pangan olahan siap saji,” ujar Taruna Ikrar.
BPOM sendiri, bahkan sebelum PP Nomor 28 Tahun 2024 ditetapkan, telah melakukan upaya penanggulangan PTM, antara lain dengan mengatur ketentuan terkait label gizi melalui penerbitan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.
Beberapa kebijakan label gizi pada pangan olahan yang diatur adalah pencantuman tabel informasi nilai gizi yang bersifat wajib dan kebijakan pelabelan gizi pada bagian depan label (front of pack nutrition labelling/FOPNL) yang bersifat sukarela untuk memudahkan masyarakat dalam memahami kandungan gizi pada produk.
Di sisi lain, Deputi 3 BPOM, Elin Herlina menyampaikan bahwa sejalan dengan PP Nomor 28 Tahun 2024 dan hasil monitoring implementasi pelabelan gizi, saat ini BPOM sedang melakukan review terhadap ketentuan pencantuman FOPNL melalui penyusunan kebijakan format pencantuman nutri-level.
Nutri-level ini terdiri atas 4 tingkatan (level A, B, C, dan D) yang menunjukkan level pangan olahan berdasarkan kandungan GGL. Level A dengan kandungan GGL paling rendah, sementara Level D dengan kandungan GGL paling tinggi.
Penerapan kewajiban pencantuman nutri-level pada pangan olahan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL pada level C dan level D.
Kewajiban penerapan nutri-level juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh BPOM dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kemenkes.