Indonesia Peringkat 14, Negara dengan Tingkat Polusi Udara Tertinggi di Dunia
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta, VIVA – Permasalahan kualitas udara saat ini masih menjadi salah satu masalah pencemaran lingkungan yang besar di Indonesia, selain sampah plastik, sampah makanan, dan pengelolaan limbah.
Berdasarkan laporan Kualitas Udara Dunia IQAir 2023 yang dirilis pada Maret 2024, Indonesia menduduki peringkat ke-14 sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia, dengan konsentrasi PM2,5 (particulate matter) mencapai 37,1 μg per meter kubik. Lalu, apa yang bisa dilakukan? Scroll untuk informasi selengkapnya!
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kualitas udara di Indonesia, dengan melakukan inisiatif Health Provider. Apa itu?
Ini merupakan inisiatif keberlanjutan terintegrasi, yang meliputi aktivitas dalam menunjang kesehatan bagi manusia dan juga kesehatan bagi bumi (lingkungan). Health Provider sendiri berperan aktif dalam mendukung Nett Zero Emission (NZE) atau pengurangan emisi karbon.
Samsul Bakhri – Direktur PT Ajinomoto Indonesia, mengatakan, setelah sebelumnya pada Oktober 2023 mengganti batu bara dengan biomassa sebagai bahan bakar mesin boiler di pabrik sehingga lebih ramah lingkungan.
“Kali ini kami menambah sumber energi ramah lingkungannya dengan bekerjasama bersama PT PLN (Persero) untuk penggunaan listrik dengan Renewable Energy Certificate (REC),” ujar Samsul dalam keterangannya, dikutip Selasa 17 September 2024.
Sebelum menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang bersertifikat dari PLN, pabrik Ajinomoto di Mojokerto maupun Karawang sebelumnya telah melakukan beberapa upaya dalam mengurangi jumlah buangan emisi.
“Sebelum ini, guna mengurangi jumlah buangan emisi, di Pabrik Karawang dan Mojokerto sudah menggunakan panel surya pada beberapa gedung kantor maupun produksi,” katanya.
“Kemudian, di Pabrik Mojokerto kami juga sudah menggunakan bio-massa sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin-mesin boiler yang ada di pabrik. Total penggunaan EBT kami saat ini kurang lebih 30 persen,” ucap Samsul.
“Dengan adanya penggunaan renewable energy baru bersertifikat (REC), penggunaan EBT untuk mengurangi emisi karbon meningkat menjadi lebih dari 45 persen.
“Ini adalah salah satu langkah penting untuk mencapai target dekarbonisasi perusahaan sebesar 60 persen pada 2030. Kami juga terbuka terhadap berbagai bentuk kolaborasiyang dapat membantu mengurangi GHG (Greenhouse Gases) melalui penggunaan energi terbarukan,” lanjutnya.