Waspada Polusi Udara Turunkan Kualitas Sperma, Ancaman Serius Bagi Kesuburan Pria

Ilustrasi sperma.
Sumber :
  • Pixabay

Jakarta, VIVA –  Masalah polusi udara mulai menjadi hal yang serius untuk segera diatasi. Mengingat bahwa masalah polusi udara ini bisa memberikan kerugian pada negara di Indonesia mencapai Rp18 triliun.

Upaya Percepatan Transisi Kendaraan Listrik di 10 Kota 

Pemerintahan Prabowo-Gibran didorong untuk menjadikan masalah polusi udara sebagai salah satu isu prioritas di dalam kinerja pemerintahannya mendatang. Data dari BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa antara tahun 2018-2022, penyakit pernapasan yang disebabkan oleh polusi udara telah menghabiskan biaya sebesar Rp18 triliun. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa polusi udara tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga memberikan beban ekonomi yang signifikan.

Tak hanya itu, penelitian di luar negeri bahkan mengungkap bahaya mengerikan dari polusi udara. Dalam studi yang dilakukan ditemukan bahwa menghirup polusi udara dapat meningkatkan risiko infertilitas pria hingga hampir 25 persen.

Terpopuler: Mitos dan Fakta BPA, hingga Polusi Udara Turunkan Kualitas Sperma

Dikutip laman Metro.co.uk, Selasa 10 September 2024 paparan polusi jangka panjang yang berasal dari lalu lintas jalan raya, bahan bangunan, dan partikel kecil lainnya yang menggantung di udara, yang dikenal sebagai PM2.5, telah dikaitkan dengan tingkat infertilitas dalam penelitian baru yang diterbitkan di The BMJ.

Rugikan Negara Rp 18 Triliun, Prabowo Didorong Jadikan Polusi Udara Isu Prioritas Nasional

Tim ilmuwan Denmark juga mengungkapkan bahwa polusi suara lalu lintas jalan raya dikaitkan dengan infertilitas pada wanita berusia di atas 35 tahun.

Para peneliti mengamati lebih dari 500.000 pria dan hampir 400.000 wanita berusia antara 30 dan 45 tahun dengan kurang dari dua anak yang tinggal di Denmark dengan pasangan antara tahun 2000 dan 2017.

Mereka kemudian menghitung rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 dan tingkat kebisingan lalu lintas jalan raya di alamat setiap peserta antara tahun 1995 dan 2017, dan membandingkan data tersebut dengan keberhasilan pembuahan.

Para peserta yang dipilih mencakup sebagian besar orang yang secara aktif berusaha untuk hamil. Orang-orang yang sudah memiliki diagnosis infertilitas sebelumnya tidak dimasukkan dalam penelitian, begitu pula mereka yang telah menjalani operasi untuk mencegah kehamilan atau mereka yang telah disterilkan. Mereka menemukan bahwa paparan PM2.5 pada tingkat 2,9 µg/m3 (pengukuran yang menunjukkan konsentrasi polutan udara) atau lebih tinggi selama periode lima tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko infertilitas sebesar 24 persen pada pria.

Masker Polusi Udara

Photo :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

Paparan pada tingkat lalu lintas jalan raya rata-rata yang 10,2 desibel lebih tinggi selama lima tahun juga dikaitkan dengan peningkatan risiko infertilitas sebesar 14 persen di antara wanita di atas 35 tahun, tetapi tidak di antara wanita yang lebih muda (30-35 tahun). Polusi suara dikaitkan dengan peningkatan 'kecil' pada infertilitas pada pria yang lebih tua, yang berusia antara 37 hingga 45 tahun.

Dalam penelitian tersebut, para peneliti menulis, "Baik stres maupun gangguan tidur juga diduga jadi penyebab  gangguan fungsi reproduksi, termasuk berkurangnya jumlah dan kualitas sperma, serta ketidakteraturan menstruasi."

Temuan peneliti sama untuk peserta yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan, dan terjadi tanpa memandang status keuangan peserta. Perlu dicatat bahwa ini adalah penelitian observasional, jadi tidak dapat secara langsung mengatakan bahwa polusi menyebabkan infertilitas. Penelitian ini juga tidak mengukur asap atau kebisingan yang dapat diterima seseorang di tempat kerja atau jika mereka berolahraga di luar ruangan, seperti berlari. Namun, para peneliti mengatakan bahwa jika temuan mereka dapat direplikasi maka hal itu dapat membantu menciptakan strategi dan kebijakan untuk melindungi populasi dari kebisingan dan polusi udara.

Apa itu PM2.5? 

PM2.5 adalah partikel polusi yang lebih kecil dari 2,5 mikrometer dan dapat berada di saluran napas dan jauh di dalam paru-paru yang dapat menyebabkan masalah kesehatan. Partikel ini terdiri dari potongan-potongan kecil padatan atau cairan yang menggantung di udara. Partikel ini dapat berasal dari lalu lintas jalan raya, termasuk emisi karbon dari mesin, potongan-potongan kecil logam dan karet dari keausan mesin dan pengereman serta debu dari permukaan jalan. Partikel ini juga dapat berasal dari material bangunan dan industri serta debu yang tertiup angin, garam laut, serbuk sari, dan partikel tanah. 

Profesor Jill Belch, seorang ahli dalam pengobatan vaskular dan polusi udara dari Universitas Dundee, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan, "Ini adalah penelitian utama yang menghubungkan efek yang lebih beracun dengan paparan polusi udara khususnya dengan partikel yang sangat kecil PM2.5."

"Tidak memiliki anak dapat menjadi bencana bagi sebagian orang, dan kemungkinan besar efek berbahaya yang diketahui pada kualitas dan pergerakan sperma berperan di sini. Lebih banyak perhatian perlu diberikan untuk mencapai batas hukum polusi udara oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya