Hati-hati! Ini Dia Dampak Aborsi untuk Kesehatan Tubuh
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA – Aborsi adalah prosedur medis yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan, dan keputusan untuk melakukannya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor medis.
Secara medis, aborsi dapat diindikasikan dalam beberapa situasi, termasuk keguguran, ancaman terhadap kesehatan ibu akibat kehamilan, atau kehamilan yang terjadi karena pemerkosaan.
Aborsi dapat dilakukan dengan dua metode utama, melalui pemberian obat-obatan tertentu atau melalui prosedur operasi. Biasanya, aborsi dilakukan pada usia kehamilan di bawah 24 minggu, tergantung pada indikasi medis dan peraturan hukum setempat.
Risiko Komplikasi Aborsi
Meskipun aborsi dapat dilakukan dengan aman di bawah pengawasan medis yang tepat, risiko komplikasi tetap ada. Komplikasi ini dapat terjadi baik secara langsung setelah aborsi maupun dalam beberapa minggu setelahnya. Melansir dari berbagai sumber, berikut beberapa risiko komplikasi aborsi yang mungkin timbul:
1. Perdarahan setelah aborsi
Perdarahan, salah satu komplikasi yang paling umum setelah aborsi. Perdarahan berat melalui vagina dapat terjadi, terutama jika ada sisa jaringan janin atau ari-ari yang tertinggal dalam rahim setelah prosedur.
Risiko perdarahan lebih kecil pada aborsi kehamilan di bawah 13 minggu dibandingkan dengan kehamilan yang lebih lanjut. Jika perdarahan berat terjadi, tindakan medis tambahan seperti transfusi darah dan kuretase mungkin diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
2. Terjadinya Infeksi
Infeksi, komplikasi lain yang sering terjadi setelah aborsi. Gejala infeksi bisa meliputi demam, keputihan yang berbau, dan nyeri hebat di area panggul. Infeksi yang berat dapat berlanjut menjadi sepsis, yang merupakan kondisi medis serius yang memerlukan penanganan segera.
3. Kerusakan pada Rahim dan Vagina
Aborsi yang dilakukan tidak dengan benar dapat menyebabkan kerusakan pada rahim dan vagina, seperti lubang atau luka berat pada dinding rahim, leher rahim, atau vagina. Kerusakan ini dapat mempengaruhi fungsi organ reproduksi dan memerlukan perawatan medis tambahan.
4. Masalah Psikologis
Selain komplikasi fisik, aborsi juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang signifikan. Banyak wanita mengalami perasaan bersalah, malu, stres, cemas, hingga depresi setelah aborsi. Dukungan emosional dan konseling mungkin diperlukan untuk mengatasi dampak psikologis ini.
Komplikasi ini dapat meningkat jika aborsi dilakukan secara ilegal, di fasilitas kesehatan yang tidak memadai, atau menggunakan metode tradisional yang tidak terjamin keamanannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjalani pemeriksaan medis menyeluruh dan berkonsultasi dengan dokter sebelum melakukan aborsi.
Kemungkinan untuk mengandung lagi
Setelah aborsi, siklus menstruasi biasanya akan kembali normal dalam waktu 4-6 minggu. Wanita dapat hamil lagi setelah menjalani aborsi, tetapi perlu melakukan pemeriksaan rutin setidaknya selama 2 minggu setelah aborsi untuk memastikan bahwa prosedur tersebut berhasil dan tidak menimbulkan komplikasi.
Namun, aborsi dapat mempengaruhi kesuburan. Risiko kehamilan ektopik dan persalinan prematur dalam kehamilan berikutnya mungkin meningkat. Untuk mengantisipasi berbagai bahaya ini, penting untuk melakukan konsultasi mendalam dengan dokter kandungan sebelum menjalani aborsi.
Sebagai informasi lebih lanjut, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 pada 26 Juli 2024. Ini merupakan aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Sejumlah poin penting diatur dalam PP Kesehatan yang baru. Salinan bisa dilihat di situs JDIH Kementerian Sekretariat Negara pada Senin, 29 Juli 2024.
Pertama, pemerintah mengizinkan praktik aborsi bersyarat. Aturan tersebut tertuang pada pasal 120, yang menyebutkan dokter bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.
“Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan,” tulis pasal 122 ayat 1 PP Nomor 28 Tahun 2024.