Menu Berbasis Nabati, Pendekatan Baru Mengatasi Krisis Iklim
- ist
VIVA Lifestyle – Tantangan perubahan iklim semakin nyata, terutama dalam sektor ketahanan pangan di negara-negara rentan seperti Indonesia. Perubahan suhu, cuaca ekstrem, dan pola curah hujan yang tidak menentu mengancam kestabilan produksi pangan. Dalam menghadapi tantangan ini, Nutrisi Esok Hari hadir dengan menawarkan menu berkelanjutan gratis bagi institusi publik di Indonesia sebagai strategi efektif mengurangi jejak karbon.
“Mengatasi perubahan iklim memerlukan implementasi pola makan yang ramah iklim dan transformasi sistem pangan. Inisiatif kami menawarkan penerapan menu berbasis nabati berkelanjutan di institusi publik, seperti sekolah, universitas, dan komunitas, dengan pendampingan ahli gizi profesional. Semua layanan ini gratis—tanpa biaya,” ungkap Yohana Sadeli, Pengelola program Nutrisi Esok Hari, inisiatif kolaboratif Animal Friends Jogja dan NGO Internasional Sinergia Animal. Scroll lebih lanjut ya.
Sejak didirikannya pada tahun 2021, Nutrisi Esok Hari telah berhasil menjalin 15 komitmen dengan berbagai institusi di Indonesia. Inisiatif ini memberikan dukungan dan panduan gratis kepada pemilik bisnis makanan dan institusi nirlaba untuk mengganti produk berbasis hewani dengan alternatif nabati. Langkah ini tidak hanya meningkatkan kesehatan, tetapi juga menurunkan dampak lingkungan.
Nutrisi Esok Hari berpotensi mengubah 300 ribu makanan yang disajikan menjadi 100% berbasis nabati setiap tahunnya. Program ini menegaskan bahwa perubahan menu ini juga dapat membantu mempertahankan atau bahkan mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh institusi.
“Mulai tahun ini, Nutrisi Esok Hari juga memperluas programnya untuk Posyandu dan usaha katering yang bertujuan menyajikan makanan lezat kaya akan protein dengan memanfaatkan protein nabati lokal untuk komunitasnya,” tambah Yohana.
Beberapa penerima manfaat dari program ini adalah Dreama Kitchen dan Rella’s Kitchen, dua usaha katering di Jepitu dan Kemadang, Gunungkidul.
PBB telah menerbitkan kajian mengenai perubahan iklim pada awal tahun 2024, yang menyoroti ketahanan pangan sebagai perhatian utama. Cuaca ekstrem dan bencana iklim mempengaruhi siklus tanaman dan pertanian di negara-negara Asia, menyebabkan naiknya harga dan meningkatnya kelaparan.
“Kita bergantung pada sistem pangan yang tidak memadai dan terlalu bergantung pada protein hewani, penghasil emisi utama CO2 dan gas rumah kaca dalam produksi pangan. Peternakan dan penangkapan ikan bertanggung jawab pada 61% emisi yang berasal dari sektor agrikultur—tanpa mempertimbangkan rantai pasokan lainnya—namun hanya menyediakan 37% protein dan 18% kalori untuk dikonsumsi di seluruh dunia,” jelas Yohana.
Menurut laporan Komisi EAT-Lancet, sistem pangan yang selaras dengan tujuan lingkungan dan gizi terdiri dari lebih dari 90% makanan berbasis nabati.
"Kami menginisiasi salah satu diskusi penting untuk isu krisis iklim, meningkatkan kesadaran mengenai dampak pilihan pangan serta memfasilitasi perubahan yang kita perlukan di lembaga nasional kita. Kami mendorong institusi dan pemerintah daerah di Indonesia untuk ikut serta dalam upaya ini, mengambil inspirasi dari kota Cali dan Chaparral, keduanya di Colombia, yang sudah menjalankan program kami di sana,” ungkap Yohana.