Diet Intermiten Fasting, Tingkatkan Risiko Kematian?

Ilustrasi diet.
Sumber :
  • Pexels/rawpixel.com

AMERIKA  – Selama bertahun-tahun, intermiten fasting dianggap sebagai salah satu metode ampuh untuk menurunkan berat badan. Intermiten fasting sendiri merupakan pengaturan pola makan dengan cara berpuasa, yaitu menggunakan jeda waktu untuk bisa mengonsumsi makanan. Umumnya dilakukan dalam waktu 16 jam berpuasa, dan 8 jam untuk mengkonsumsi makanan.  

7 Kebiasaan Kecil yang Bisa Membantu Turunkan Berat Badan Saat Liburan Akhir Tahun, Wajib Coba!

Namun sayangnya, baru-baru ini intermiten fasting disebut-sebut bisa menyebabkan risiko kematian. Benarkah demikian? Melansir laman health Maret 2024 lalu, Asosiasi Kesehatan Amerika mengumumkan penelitian yang mengaitkan intermiten fasting dengan peningkatan risiko kematian akibat penyakit jantung. 

Para ilmuan menemukan bahwa orang yang menerapkan pola 16:8 atau hanya makan dalam jangka waktu 8 jam memiliki risiko 91 persen meninggal akibat penyakit jantung. Dibandingkan dengan mereka yang makan selama 12 jam atau 16 jam dalam sehari.

Mengenal Diet Timun yang Disebut Ampuh Turunkan Berat Badan Dalam Waktu Singkat, Begini Caranya!

Hal tersebut diungkap oleh penulis utama penelitian yang juga seorang profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai Jiao Tong di Shanghai, Victor Wenze Zhong, PhD.

"Penting bagi pasien terutama mereka yang memiliki penyakit jantung atau kanker. Mereka dengan riwayat penyakit tersebut harus menyadari hubungan antara penyakit jantung dan kanker, jendela makan 8 jam dan peningkatan risiko kematian akibat penyakit jantung," kata dia dalam rilis resminya.

10 Manfaat Minum Air Hangat yang Bisa Membantu Menurunkan Berat Badan

Hasil temuan penuh kontroversial

Para peneliti meninjau informasi dari lebih dari 20.000 orang dewasa di Amerika Serikat yang terdaftar antara tahun 2003 hingga 2018 dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional, sebuah studi yang dirancang untuk menilai status kesehatan dan gizi orang dewasa dan anak-anak di Amerika Serikat.

Peserta mencakup jumlah laki-laki dan perempuan dengan rasio jumlah yang kira-kira sama. Sekitar tiga perempatnya berkulit putih, 11 persen Hispanik, 8 persen kulit hitam, dan sisanya mengidentifikasi diri sebagai kategori ras lain.

Peserta melaporkan rincian konsumsi makanan dan pola survei pada dua hari terpisah. Para peneliti memantau partisipan selama rata-rata delapan tahun. 

Selain menemukan hubungan umum antara makan hanya dalam jangka waktu delapan jam dan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi. Para peneliti juga menemukan bahwa orang dengan penyakit jantung yang mengikuti praktik ini memiliki peningkatan risiko kematian akibat stroke atau stroke sebesar 66 persen. 

Peserta yang menderita kanker juga memiliki peluang lebih tinggi untuk meninggal akibat penyakit jantung. Studi tersebut tidak menemukan hubungan antara pembatasan waktu makan dan peningkatan harapan hidup.

Zhong mencatat dalam siaran persnya bahwa penelitian tersebut tidak menunjukkan bahwa puasa intermiten meningkatkan risiko kematian kardiovaskular, namun hanya menunjukkan hubungan antara keduanya.
Di sisi lain, asisten profesor kedokteran di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, Paul Leis, DO mengatakan kepada Health bahwa temuan ini adalah pengamatan yang menarik. Namun memperingatkan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan yang signifikan.

Para ahli mencatat bahwa penelitian ini mengandalkan informasi yang dilaporkan sendiri, yang terkadang tidak akurat. Selain itu, kata Leis, penelitian tersebut tidak mengungkapkan cukup informasi tentang kondisi mendasar para partisipan. 

"Penelitian ini tidak menyebutkan berapa banyak dari pasien tersebut yang menderita diabetes. Berapa banyak dari mereka yang menderita penyakit jantung? Apakah ada faktor penyakit lain? Seperti apa aktivitas fisik mereka? Seperti apa BMI mereka? Saya ingin melihat semua informasi itu," ungkapnya.

Ia juga mengatakan, selain melihat kapan peserta makan, ia juga ingin mengetahui apa yang mereka makan. 

"Kami tidak tahu apa yang mereka [peserta] makan saat itu. Selama delapan jam itu, apa yang mereka makan? Apakah makanannya seimbang, atau mereka makan sesuatu dengan cepat karena mereka harus mendapatkannya pada waktu itu?," ungkapnya.

Seorang ahli jantung di Departemen Kedokteran Kardiovaskular di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, Stephen Kopecky, MD menyuarakan pendapat yang sama. 

"Terkadang orang yang tidak punya banyak waktu untuk makan, sehingga mereka memilih makanan yang lebih buruk. Makanan itu bisa jadi merupakan makanan ultra-procced, yang kita tahu meningkatkan angka kematian akibat penyakit jantung dan meningkatkan kanker. Hal ini mungkin menjadi bagian yang berkontribusi terhadap hasil penelitian," katanya. 

Wanita ini makan banyak burger (ilustrasi).

10 Tips Ampuh Menahan Lapar Saat Diet, Tetap Lancar Tanpa Derita!

Bagi sebagian orang, rasa lapar menjadi alasan utama mengapa mereka gagal mempertahankan pola diet yang sehat.

img_title
VIVA.co.id
18 Desember 2024