Mengejutkan, Mati Mendadak Ternyata Bukan Hanya Disebabkan Penyakit Jantung Saja
- Pixabay
JAKARTA – Kematian mendadak seringkali dialami oleh pasien serangan jantung. Namun ternyata, kondisi mati mendadak tak melulu dialami oleh pasien jantung saja. Hal itu diungkap oleh Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Intervensi, dr. Utojo Lubiantoro, SP.JP(K).
"Penyakit jantung sebagai penyebab kematian mendadak kurang lebih 70 persen. Memang sebagian besar majority. Tapi 30 persennya penyakit-penyakit yang lain. Seperti aorta (pembuluh darah), kemudian emboli paru dan juga kalo kegawatan di otak, kalau terjadi stroke perdarahan atau sumbatan tapi yang luas, kalau stroke yang luas itu bisa juga jadi penyebab mati mendadak. Kalau yang ringan jarang," ujarnya saat Seminar Mati Mendadak? Dapat Dicegah, yang digelar oleh RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, di Jakarta, Sabtu 8 Juni 2024. Scroll untuk info lengkapnya, yuk!
Dokter Utoyo menjelaskan, karena kondisi mati mendadak, pasien tidak mengalami gejala sama sekali. Kalau pun ada gejala, pasien seringkali tidak menyadarinya dan baru dirasakan ketika sudah parah atau terlambat.
"Tapi sebenernya dia (penyakit atau kondisi) sebelum yang berat itu jadi komplikasi, sebenernya ada penyakit dasar. Misalnya disleksia atau pecahnya pembuluh aorta, kalau kita yang muda size-nya normal kan dia gak pecah terus terjadi pembesaran. Cuma, kalau aorta itu terjadi pembesaran si pasien gak punya keluhan," jelasnya.
"Bagaimana tahunya? Hanya check up untuk deteksi dini. Makanya banyak pasien penyakitnya ketahuan ketika dia check up, tanpa check up gak tahu, karena kan gak semua punya keluhan. Keluhan itu kalau sudah pecah, sudah parah, sudah stroke berat, sudah serangan jantung," imbuhnya.
Yang lebih mengejutkan, dokter Utoyo mengungkapkan, kondisi mati mendadak tidak hanya disebabkan oleh penyakit tertentu saja. Tapi, keadaan-keadaan tertentu juga bisa menyebabkan seseorang meninggal secara mendadak.
"Kadang-kadang bukan cuma penyakit yang bisa mati mendadak, keadaan-keadaan tertentu misalnya gangguan elektrolit, seperti natrium kalium, magnesium. Nah, kalau kita kekurangan kalium yang sangat berat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah, itu juga bisa jadi cardiac arrest (jantung berhenti berdetak), tanpa ada penyakit jantung," ungkapnya.
Dokter Utoyo mencontohkan pasien gagal ginjal yang mengalami hiperkalium tinggi. Salah satu komplikasi dari gagal ginjal sendiri adalah kalium dalam tubuh. Jika kadarnya terlalu tinggi, maka bisa menyebabkan cardiac arrest. Namun Utoyo menegaskan, cardiac arrest sendiri bukan serangan jantung, tapi sama-sama bisa menyebabkan henti jantung dan membuat pasiennya meninggal dunia. Namun, hal itu biasa dicegah jika si pasien melakukan cuci darah atau dialisis, sehingga kaliumnya kembali normal.
"Atau juga kalium terlalu rendah, misalnya pada pasien-pasien diare. Diare kan loss kaliumnya, kalau sampai rendah ekstrem, dia bisa cardiac arrest. Jadi gak cuma penyakit, hal-hal tertentu bisa membuat cardiac arrest, dia mati mendadak," pungkas dokter Utoyo.
Kepala Departemen Medis dan Penunjang Medis Mitra Keluarga Kelapa Gading, dr. Ivan Gunawan menambahkan, rumah sakitnya berkomitmen sejak 2006 untuk mendirikan Heart and Vascular Center.
"Kami berkomitmen sejak 2006, kita sudah mendirikan Heart and Vascular Center. Didukung juga oleh dokter-dokter berpengalaman seperti salah satunya dokter Utoyo dan ada beberapa dokter lain," tuturnya.
"Di kita pun ada sarana MCU (medical check up) baik dari sisi pemeriksaan darah, CT Cardiac sampai ke Angiografi. Jadi, kami dari Mitra Keluarga berkomitmen buat mendukung masyarakat agar rutin MCU sehingga bisa dideteksi dini sebelum terjadinya serangan atau yang lebih berat," tutup dr. Ivan Gunawan.