Miris! Prevalensi Perokok Anak Usia Sekolah di Indonesia Terus Meningkat
- Pixabay/Ralf Kunze
JAKARTA – Perokok di kalangan anak dan remaja terus menjadi sorotan di Indonesia. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia pada 2023 lalu, prevalensi merokok penduduk umur 10-18 tahun menurun menjadi 7,4 persen. Namun, angka tersebut masih lebih tinggi dari tahun 2013 dan lebih tinggi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 5,4 persen.
"Kalau kita lihat hasil SKI 2023 ini ada tren penurunan 7,4 persen tetapi masih lebih tinggi dibanding target kita di tahun 2012, yaitu 5,4 persen artinya PR kita masih cukup besar," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti dalam press conference di Kantor Kemenkes Jakarta Selatan, Rabu 29 Mei 2024. Scroll untuk info selengkapnya.
Lebih lanjut diungkap Eva berdasarkan SKI 2023, rentang usia mulai merokok terbanyak di Indonesia adalah 15 hingga 19 tahun yakni sebesar 56,5 persen. Sedangkan di posisi kedua rentang usia 10 hingga 14 tahun sebesar 18,4 persen. Peningkatan konsumsi rokok lebih signifikan terjadi pada anak dan remaja.
"Terjadi peningkatan rokok yang signifikan terjadi pada anak dan remaja karena melihat data Global Tobacco Survey 2019 menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok pada anak usia sekolah terutama pada usia 13-15 tahun dari 18,3 persen menjadi 19,2 persen di 2019," bebernya.
Di sisi lain, berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 juga menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan 10 kali lipat penggunaan rokok elektronik dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 3,0 persen di tahun yang sama. Angka ini juga serupa dengan survei SKI 2023, yang mana berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan adanya peningkatan penggunaan rokok elektronik di usia anak-anak.
"Hasil survei SKI 2023 menunjukkan adanya peningkatan penggunaan rokok elektronik yang sebelumnya pada Riskesdas 2018 sebesar 0,06 persen menjadi 0,13 persen. Jadi ada kecenderungan anak-anak mengalihkan penggunaan rokok konvensional ke rokok elektronik," ungkapnya.
Eva mengungkap bahwa pertumbuhan perokok aktif terutama di kalangan anak dan remaja di Indonesia ini tidak bisa lepas dari gencarnya pemasaran produk di kalangan masyarakat terutama pada anak remaja. Yang menciptakan efek pemasaran yang imersif di media sosial dengan memanfaatkan jangkauan merek multinasional, influencer, topik yang sedang tren, popularitas, dan pengenalan merek tembakau dan nikotin di media sosial.