Dokter Hasto Ungkap Botol Tidak Steril Bisa Jadi Biang Keladi Diare pada Anak
- Dok.Istimewa
Banda Aceh – Dokter Hasto, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), memaparkan langkah-langkah yang harus diambil oleh Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh agar penanganan stunting dan intervensi yang dilakukan mencapai sasaran yang tepat. Tujuannya adalah untuk menurunkan prevalensi stunting secara nasional hingga 14% pada tahun 2024.
Contoh yang diambil dari Aceh menunjukkan bahwa target prevalensi stunting di wilayah tersebut pada tahun 2024 adalah sebesar 19,0%. Pada tahun 2023, Aceh ditetapkan untuk menurunkan prevalensi stunting sebesar 23,69%.
Saat ini, Aceh bersama 11 provinsi lokus stunting lainnya di Indonesia sedang menanti hasil dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI). Namun, hingga berita ini disusun, SKI belum diluncurkan.
Pada tahun 2021, prevalensi stunting di Aceh mencapai 33,2%, dan turun menjadi 31,2% pada tahun 2022 menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022.
“Cegah stunting penting di periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPH), sejak terjadinya konsepsi sampai usia bayi dua tahun. Dalam masa tersebut pola asuh dan asupan yang berkualitas seperti ikan perlu diberikan kepada anak. Sebab 80 persen kecerdasan anak terbentuk di 1000 HPK. Ini sangat penting bagi perkembangan anak selanjutnya,” ujarnya dalam keterangan resminya yang dikutip Kamis, 29 Februari 2024.
Dokter Hasto menyampaikan hal tersebut saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting Aceh Tahun 2024, yang diselenggarakan di Hotel Ayani, Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada hari Rabu, 28 Februari 2024.
Dokter Hasto menjelaskan bahwa menurut kepercayaan, Allah akan menutup pertumbuhan tulang tengkorak bayi setelah usia dua tahun, dan kemungkinan perkembangan otak bayi setelah usia tersebut sangatlah kecil.
“Maka itu, pre konsepsi penting dilakukan para calon pengantin (catin), dan tidak besar biayanya dibandingkan mempersiapkan pra wedding,” ujar dokter Hasto.
Kehidupan berkeluarga, lanjutnya, perlu dipersiapkan dengan baik. Kata dia, epidemiologi terjadinya kehamilan setelah perkawinan adalah selama 18 bulan.
Ia juga mengatakan, salah satu penyebab terjadi stunting karena jarak kelahiran anak yang terlalu dekat. Hal tersebut mengakibatkan pola asuh yang diberikan kepada anak tidak maksimal. Padahal, kata Dokter Hasto, setiap anak perlu diberikan ASI paling kurang selama 24 bulan atau dua tahun.
Lebih lanjut ia menjelaskan, beberapa alasan mengapa bayi tidak menyusui. Sebesar 65,7% karena ASI tidak keluar, 8,4% terjadi rawat pisah antara ibu dan bayi, 6,6% anak tidak bisa menyusui, dan 2,2% karena si ibu repot.
Dokter Hasto menekankan pentingnya pemberian ASI kepada bayi dibandingkan memberikan susu botol. Ia mengingatkan para ibu agar berhati-hati ketika memberikan susu untuk bayi atau balita, khususnya dalam penggunaan botol susu.
“Banyak sekali orang tersesat pakai susu botol atau susu formula, akhirnya anaknya banyak yang mengalami diare. Kenapa diare? Bukan karena susunya, tapi karena botolnya tidak steril. Bekas susu yang tersisa di dalam botol menjadi sarang bakteri, kalau botol tidak betul-betul disteril,” papar dokter Hasto.
Dokter Hasto juga menyampaikan bahwa usia perkawinan memiliki dampak pada terjadinya stunting pada bayi yang dilahirkan. Pernikahan pada usia anak dapat berpengaruh terhadap kesehatan ibu saat hamil.
Dokter Hasto menjelaskan bahwa wanita yang menikah pada usia anak memiliki risiko terkena kondisi kurang darah dan berisiko melahirkan anak yang mengalami stunting.
Selain itu, ia menambahkan bahwa faktor lain yang dapat menyebabkan kelahiran bayi stunting adalah melahirkan setelah usia 35 tahun.
“Di Aceh masih banyak ibu-ibu yang melahirkan di atas usia 35 tahun,” ungkapnya.
Dokter kandungan kelahiran 30 Juli 1964 ini menjelaskan, ciri khas stunting adalah bertubuh pendek. Tetapi, kata dokter Hasto, pendek belum tentu stunting. Ciri yang lebih khas lagi, katanya, anak stunting tidak cerdas dan orang stunting sering sakit-sakitan.
Lanjutnya, ketika dewasa, anak stunting akan mengalami central obes yang menyebabkan mudah terkena penyakit seperti darah tinggi, jantung, dan stroke.
Menjawab wartawan, di sela acara, dokter Hasto, menegaskan bahwa BKKBN dan mitra terkait mengawal ketat program percepatan penurunan stunting, sehingga target 14 persen di 2024 bisa dicapai.
Atas pertanyaan lainnya, dokter Hasto menandaskan, “Menurunkan stunting jauh lebih strategis dari pada mengejar anak stunting.”
Dokter Hasto juga mengingatkan bahwa yang paling efektif menurunkan stunting adalah dengan mengintervensi mereka yang hamil atau yang akan hamil.
Perkuat sosialisasi
Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh yang juga Wakil Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh, Ayu Marzuki, meminta Tim Percepatan Penurunan Stunting agar memperkuat sosialisasi tentang stunting hingga ke tingkat desa.
Menurut Ayu, masih banyak Keuchik atau kepala desa, bahkan istri kepala desa yang notabane Ketua TPPS tingkat Gampong, belum mengetahui apa itu stunting. Malah, kata Ayu, banyak yang menganggap bahwa stunting itu penyakit.
“Saya berterimakasih sekali dengan Kaper BKKBN Aceh, Ibu Vina, yang cepat respon, dan Desember 2023 lalu mengumpulkan 710 keuchik dari desa lokus stunting mengikuti sosialisasi stunting. Semoga dengan mendapatkan pemahaman tersebut, intervensi yang dilakukan tepat sasaran,” kata Ayu di depan peserta Rakor TPPS.
Ayu juga menyoroti hal lain yang mengejutkan, terutama dalam hal perubahan perilaku, yaitu minimnya peran suami dalam mendukung pemberian ASI selama masa persalinan. Dia mencatat bahwa sedikit suami yang mendorong istri untuk mengunjungi posyandu untuk pemeriksaan kehamilan atau membawa bayi dan balita ke posyandu.
Ayu menemukan kasus di mana seorang suami menyarankan agar istrinya memberikan susu formula kepada bayi karena ASI yang dihasilkan istrinya terlalu encer. Istri menerima saran tersebut. Namun, karena ingin menghemat biaya, susu formula ditambahkan air agar lebih encer.
“Inilah kondisi yang terjadi. Untuk itu saya sangat berharap para suami ikut serta berperan mendorong istri memberikan ASI kepada bayi hingga berusia dua tahun,” saran Ayu.
Selanjutnya, Ayu juga mencatat bahwa banyak kader posyandu yang salah mengukur tinggi badan balita dengan menggunakan kain sebagai alat ukur, sehingga data mengenai stunting menjadi tidak valid.
Ayu menyoroti bahwa penyebab lainnya adalah seringnya pergantian kader dan kurangnya konfirmasi terhadap pencatatan yang dilakukan oleh kader oleh petugas kesehatan.
“Saya sangat memohon agar kader yang sudah dilatih tidak diganti. Oleh sebab itu, juga perlu diatur dengan regulasi supaya kader pada tingkat paling bawah bisa didampingi sehingga bekerja sesuai SOP yang ada,” kata Ayu.
Wakil Ketua TPPS Aceh ini juga berharap agar peran TPPS yang melibatkan berbagai pemangku kebijakan dapat terus ditingkatkan dalam upaya menurunkan angka stunting di Aceh.
Dia yakin bahwa peran tersebut akan memiliki dampak yang signifikan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak Aceh.