Isu Kesehatan di Debat Capres Belum Dikupas Tuntas, Begini Tanggapan CISDI
- Tangkapan Layar
VIVA Lifestyle – Debat Calon Presiden (Capres) putaran ke-5 sukses digelar kemarin malam, di mana salah satu pembahasannya yang menjadi sorotan ialah seputar isu kesehatan. Beberapa poin utama yang menjadi pembahasan ketiga Capres adalah perihal stunting, layanan kesehatan primer, sumber daya kemanusiaan di bidang kesehatan, hingga kelompok rentan.
Menganalisis apa saja yang disampaikan oleh Capres, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) memberikan apresiasi terhadap ketiga Capres yang sudah mengangkat isu kesehatan ini meskipun belum membahas semuanya secara tuntas. Scroll lebih lanjut ya.
"Kami mengapresiasi kepada semua Paslon karena mulai membicarakan paparan layanan preventif pada kesehatan. Tapi, pendekatannya masih terlalu membebani upaya pada individu. Akibatnya, faktor sosial, struktural, dan komersial hilang," ujar Diah Satyani Saminarsi, selaku Founder dan CEO CISDI, dalam media briefing secara online, Senin 5 Februari 2024.
Menurut Diah, ketiga Capres dalam debat tadi malam masih berputar pada pembahasan tataran normatif, belum menyentuh arah strategis pembangunan kesehatan seperti politik anggaran sistem kesehatan, dan tata kelola kesehatan.
Misalnya, masalah kesehatan yang paling kompleks adalah stunting, yakni yang pertama kali disinggung oleh Prabowo Subianto. Capres nomor urut 02 itu mengungkapkan visi-misinya untuk memberikan makanan bergizi sebagai upaya mengatasi stunting.
"Stunting harus dilihat secara lengkap dan nggak simple, itu kompleks. Konsekuensi anak stunting adalah seumur hidup dan dihadapi di lingkungannya," jelasnya.
Untuk mengatasi stunting, tidak hanya menyoroti bagaimana gizi yang didapatkan oleh anak itu sendiri sejak lahir tetapi juga memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan ibunya. Mengingat, asupan nutrisi pada ibu hamil sangat mempengaruhi kondisi anak ketika lahir.
Permasalahan gizi di Indonesia juga masih sangat luas selain stunting. Termasuk di antaranya adalah kelebihan berat badan atau obesitas, kurus, dan kurang gizi. Masalah gizi ini juga erat hubungannya dengan faktor risiko seperti konsumsi makanan/minuman tinggi gula, garam, lemak (GGL) dan produk tembakau. Penggunaan instrumen cukai dibutuhkan untuk memperkuat dampak positif program perubahan gaya hidup.
Selain masalah stunting, isu tentang sumber daya manusia kesehatan (SDMK) juga menjadi sorotan. Para Capres beberapa kali berkutat soal kekurangan dokter di Indonesia. Paslon 02 menawarkan solusi dengan cara menambahkan fakultas kedokteran (FK), yang disetujui oleh paslon 01. Sementara itu, paslon 03 berencana mengadakan misi 1 nakes di 1 faskes setiap desa di Tanah Air.
Secara kuantitas, jumlah dokter umum di Indonesia masih belum memenuhi rasio yang direkomendasikan WHO yaitu 1 per 1000 penduduk. Pada 2022, rasio dokter umum di Indonesia hanya sebesar 0,84 per 1000 penduduk. Di luar itu, pemenuhan 9 jenis SDMK di layanan kesehatan primer juga masih tertatih-tatih. Puskesmas yang memiliki 9 jenis SDMK secara lengkap di Indonesia hanya sekitar 42,67?ri total 10.374 puskesmas pada 2022. Angka ini jauh untuk memenuhi target pemerintah sebesar 83% pada 2024. Artinya, diperlukan peningkatan jumlah dan kompetensi SDMK selain dokter.
Masalah SDMK ini seharusnya dilihat dari segi malah produksi dan distribusi. Tidak hanya mempersiapkan tenaga kesehatan dan dokter tetapi juga memperhatikan pemerataannya di seluruh Indonesia. Beban kerja SMDK juga akan mempengaruhi kualitas layanan kesehatan yang diberikan.
Program-program yang dicanangkan hanya dapat direalisasikan apabila didukung dengan komitmen anggaran kesehatan yang kuat. Anggaran kesehatan harusnya tidak dipandang sebagai pengeluaran, melainkan investasi.
"Sayangnya, isu pembiayaan kesehatan tidak terbahas secara mendalam dalam sesi debat kemarin. Padahal, sumber biaya untuk merealisasikan layanan kesehatan berkualitas dan implementasi setiap program yang dijanjikan tidaklah kecil. Di periode kepemimpinan selanjutnya, perlu ada komitmen politik yang kuat untuk memastikan anggaran kesehatan terpenuhi jumlahnya di tingkat nasional maupun subnasional serta efektif-efisien pembelanjaannya,” kata Diah.