Aktor Lee Sun Kyun Meninggal Diduga Bunuh Diri, Kenapa Angka Bunuh Diri di Korea Selatan Tinggi?
- Allkpop
JAKARTA – Lee Sun Kyun dikabarkan tewas di usianya yang ke-48. Lee Sun Kyun ditemukan tak bernyawa oleh pihak kepolisian pada pukul 10.30 KST. Suami dari aktris Jeon Hye Jin ini ditemukan tewas di dalam mobilnya dengan briket di dalamnya.
Mobil aktor film Parasite ini ditemukan di sebuah jalan di dalam taman Waryong di Distrik Jongno Seoul Korea Selatan. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Sebelum pihak kepolisian mengkonfirmasi Lee Sun Kyun meninggal dunia. Istri Lee Sun Kyun, Jeon Hye Jin sempat menghubungi pihak kepolisian pada pukul 10.12 KST.
Dalam pernyataannya kepada pihak kepolisian, istri Lee Sun Kyun menyebut suaminya meninggalkan rumah dengan meninggalkan surat wasiat.
Kasus kematian Lee Sun Kyun, menambah daftar panjang kasus kematian akibat bunuh diri di kalangan selebritis Korea. Terlepas dari kasus kematian Lee Sun Kyun yang diduga akibat bunuh diri. Kasus bunuh diri di Korea Selatan diketahui cukup tinggi.
Korea Selatan mencatatkan tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OCED) selama hampir 20 tahun terakhir.
Melansir laman Telegraph, terungkap bahwa 26 dari setiap 100.000 orang di Korea Selatan melakukan bunuh diri pada tahun 2021 lalu. Angka ini meningkat 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya, demikian data dari kantor statistik nasional pada bulan September lalu.
Pada bulan Februari, data baru menunjukkan Korea Selatan, meskipun masyarakatnya berteknologi maju, memiliki salah satu tingkat kepuasan hidup terendah di antara 38 anggota OECD, dan berada di peringkat ke-36.
Kesepian, meningkatnya hutang rumah tangga dan kurangnya waktu luang semuanya disebut-sebut sebagai faktor yang menurunkan 'skor kebahagiaan' Korea menjadi 5,9, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 6,7.
Krisis Kesehatan Mental di Korea Selatan
Krisis kesehatan mental di Korea Selatan juga disebabkan oleh lingkungan yang penuh tekanan di sekolah dan tempat kerja, pengangguran, kurangnya jaring pengaman sosial bagi lansia, dan maraknya nilai-nilai budaya yang menstigmatisasi kesehatan mental yang buruk.
Seorang psikoterapis Korea-Amerika yang berbasis di New York dan pendiri layanan konseling online, Dr HeaKyung Kwon mengatakan depresi terutama terjadi pada orang-orang muda dan tua yang tidak merasa berdaya.
"Khususnya di kalangan generasi muda, ada tekanan besar untuk berprestasi," katanya, merujuk pada persaingan yang ketat untuk masuk ke sejumlah kecil universitas elit di Korea Selatan dan investasi besar orang tua dalam pendidikan mereka.
Dijelaskan Kwon orang tua memberi tahu anak-anak mereka, bahwa mereka menghabiskan uang mereka untuk menjadikan anaknya 'menjadi orang'.
"Mereka memberitau anak-anak meeka 'kami menghabiskan uang ini sehingga Anda harus menjadi seperti ini'. Sehingga mereka berada di bawah tekanan dan pada titik tertentu mereka merasa tidak mampu melakukannya (dan) memenuhi harapan semua orang," katanya.
Tak hanya generasi muda, kehidupan untuk populasi lansia di Korea Selatan juga cukup sulit. Selain harus menghadapi isolasi yang melumpuhkan (1,6 juuta warga lansia di 2021 hidup sendirian), negara ini tidak memiliki sistem kesejahteraan yang kuat untuk mendukung masyarakat lanjut usia, kata Kwon.
Akibatnya, banyak lansia yang tidak bisa pensiun dan berjuang untuk bertahan hidup dengan pekerjaan bergaji rendah, seperti pemulung sampah, kelelahan yang berkepanjangan, dan depresi.
Beberapa faktor di balik permasalahan kesehatan mental di negara ini juga berakar pada nilai-nilai unik Korea yang bertahan dari modernisasi pesat negara ini pada akhir abad ke-20.
Hal ini berkisar dari budaya patriarki yang kuat di Korea Selatan, yang terjadi di semua lapisan masyarakat dan dapat membuat perempuan merasa diremehkan dan tidak aman, hingga konsep lama tentang rasa malu, menyelamatkan muka, dan konformitas, kata Dr Kwon.
"Masyarakat kita tidak bermurah hati terhadap orang yang melakukan kesalahan," tambahnya.
Intensitas krisis bunuh diri yang semakin meningkat di Korea telah memfokuskan pikiran pada kebutuhan mendesak akan dukungan kesehatan mental yang lebih baik.
Dalam sebuah pernyataan kepada Telegraph April lalu, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan (MOHW) mengakui bahwa dukungan politik untuk membantu mengatasi masalah ini sangat dibutuhkan, dan menambahkan bahwa mereka telah meningkatkan program pencegahan bunuh diri pada bulan April 2023 lalu.
Tragedi nasional berskala besar, termasuk Itaewon, yang sebagian besar merenggut nyawa generasi muda berusia 20-an dan 30-an, dan tenggelamnya kapal feri Sewol pada tahun 2014, yang menewaskan 306 orang, termasuk 250 siswa sekolah menengah, telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental.
Namun para korban dan pakar mengatakan masih ada kekurangan layanan dukungan psikologis secara nasional. Ada missing link yang menghubungkan orang-orang yang paling membutuhkan dengan sumber daya yang tersedia, kata Dr Kwon.
Sebuah makalah tahun lalu di Harvard International Review menguraikan kesulitan dalam pemberian layanan kesehatan mental meskipun tingkat stres dan depresi mencengangkan di Korea Selatan.
Laporan tersebut menyatakan 'krisis tersembunyi di Sungai Han,' yang mengalir melalui Seoul, dan melaporkan bahwa pada tahun 2017, hampir satu dari empat warga Korea Selatan menderita gangguan mental.
Namun hanya satu dari sepuluh yang menerima pengobatan, dengan alasan pola pikir yang masih mempertimbangkan topik tersebut, sebagai hal yang tabu.
Pemberitaan berikut ini tidak untuk menginspirasi dan diimbau anda tak menirunya. Jika anda merasakan gejala depresi, permasalahan psikologi yang berujung pemikiran untuk melakukan bunuh diri segera konsultasikan ke pihak-pihak yang dapat membantu anda seperti psikolog, psikiater atau klinik kesehatan mental.