Ketua Satgas COVID-19 PB IDI Sebut Subvarian EG.5 Sudah Terdeteksi Sejak Juli Lalu

Ilustrasi COVID-19/Virus Corona.
Sumber :
  • pexels/Edward Jenner

JAKARTA – Subvarian EG.5 diketahui juga sudah terdeteksi di Indonesia. Seperti diketahui subvarian EG.5 ini menjadi biang kerok dari kenaikan angka kasus COVID-19 di Singapura beberapa waktu belakangan ini.

Polisi Bongkar 619 Kasus Judol sejak 5 November 2024, 734 Orang Ditetapkan Tersangka

Diungkap oleh Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI),  Prof. Dr.dr. Erlina Burhan, SpP(K), Msc bahwa sebenarnya varian EG.5 sudah terdeteksi di Indonesia sejak Juli 2023 lalu. Scroll lebih lanjut ya.

"EG.5 ini sudah ditemukan di Indonesia sejak bulan Juli bahkan angka hampir menyentuh 20 persen saat itu," kata dia dalam virtual media briefing PB IDI, Rabu 6 Desember 2023.

Sempat Alami KDRT Depan Anak, Istri Labrak Suami Sedang Selingkuh di Tempat Umum

Namun angka kasus subvarian EG.5 ini mengalami penurunan di Agustus dan kembali muncul di bulan November 2023 ini.

Media Sosial Akun Gerindra Jadi Tempat Keluhan Warganet ke Presiden untuk Selesaikan Kasus di Tanah Air

"September-November belum punya (data) masih fluktuasi," ungkap Erlina.

Sementara itu, untuk gejala subvarian EG.5 ini kata Erlina ringan. Sehingga tidak terlihat adanya lonjakan kasus yang signifikan.

"Tapi kan gejalanya ringan saja, tidak ada lonjakan kasus, tidak ada lonjakan di rumah sakit," ucapnya.

Ilustrasi vaksin COVID-19

Photo :
  • Times of India

Di sisi lain, terkait dengan adanya subvarian EG.5 yang sudah terdeteksi di Indonesia, Erlina mengungkap ada beberapa alasan. Salah satunya adalah terkait dengan mulai kendornya masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan seiring dengan pencabutan status pandemi COVID-19 akhir tahun 2022 lalu. Hingga meningkatnya mobilisasi masyarakat.

"Ini kenapa terjadi, karena kita sudah longgar dengan protokol kesehatan. Kedua saat ini mobilisasi masyarakat sudah tinggi, dan ini tidak bisa kontrol karena orang sudah berkegiatan seperti biasa, sudah sering kegaitan luring, sudah jarang daring. Mungkin karena mobilitas masyarakat sudah tinggi, dan ekonomi yang sudah bergiat yang membuat masyarakat beraktivitas," ungkap Erlina.

Selain itu, menurunnya tieter antibody pasca vaksinasi booster pertama yang dijalani masyarakat.

"Ada kemungkinan tieter anti body menurun, karena sudah lama kita divaksin sudah lebih dari enam bulan, dan secara teori (tieter antibody) harusnya turun," ungkap Erlina.

Erlina juga menghimbau kepada masyarakat untuk kembali menerapkan protokol kesehatan dengan menggunakan masker ketika berada di dalam ruangan, ketika sakit hingga kembali melakukan booster kedua. Mengingat cakupan vaksinasi booster kedua yang cukup rendah di masyarakat yakni sebesar 2 persen. 

"Anjurkan untuk booster disegerakan bagi kelompok rentan orang dengan komorbid, imunokompromise sebaiknya kita dahulukan untuk kita booster. booster kita rendah booster pertama itu 30 persen, booster kedua itu 2 persen," ujar Erlina. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya