Pneumonia Mycoplasma Terdeteksi di Jakarta, Dinkes Masih Kumpulkan Data
- Pixabay/neelam279
JAKARTA – Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr. Ngabila Salama mengungkap terkait laporan kasus pneumonia yang disebabkan mycoplasma pada anak di Jakarta. Ngabila mengungkap bahwa saat ini sudah ada laporan terkait mycoplasma di DKI Jakarta.
"Kalau ditanya nemuin enggak kasus mycoplasma di Indonesia, pasti. Kami sudah punya data di 2022 di DKI itupun ada. Di 2023, ada beberapa sudah," kata Ngabila saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa 5 Desember 2023.
Namun, Ngabila belum bisa merinci terkait berapa jumlah kasus mycoplasma yang tercatat di Jakarta, hingga lokasi penyebaran kasus mycoplasma di ibukota. Ngabila mengungkap bahwa saat ini pihak dinas kesehatan tengah melakukan proses pendataan terkait hal tersebut.
"Kami sedang dalam proses pendataan yang jelas kalau ditanya ada atau tidak, (jawabannya) ada," ujar dia.
Sementara itu, menurut Ngabila pemeriksaan terkait penyebab pasti pneumonia akibat mycoplasma sendiri harus dilakukan dengan pemeriksaan PCR multiplex atau syndromic testing.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi virus dan bakteri sekaligus, yakni virus RSV (Respiratory Syncytical Virus), infulenza, COVID-19, Adenovirus, hingga bakteri termasuk mycoplasma, legionella, pertusis, clamidophilla pneumonie.
"Selama ini yang kami kumpulkan diagnosis kerja. Ketika bicara diagnosis kerja, pneumoni 2023 ya ada peningkatan di Jakarta baik itu di usia balita atau di atas balita. Mulai terlihat meningkat lagi di Juli 2023 artinya kalau ditanya ada peningkatan kasus pneumoni di 2023 iya ada tapi untuk jenis patogennya kami belum ada data," kata dia.
Dia menambahkan, "Kami harus menghimpun secara manual dan baru kemarin kami di Jakarta menginisiatifkan untuk menghimpun pengumpulan hasil data PCR tersebut. Baik yang paling sering pada anak yang jadi sorotan pneumoni Mycoplasma lalu juga respiratori centennial virus ini paling banyak menyebabkan pneumonia pada balita utama dan menyebabkan kematian RSV, dan timbulkan keparahan paling banyak RSV ini sekitar 80 persen," ujar dia.
Ngabila juga mengatakan bahwa ternyata mycoplasma itu bakteri artifisial yang sangat sulit dideteksi dan dia disebut di China sebagai Walking Pneumonie lantaran perburukannya bisa cepat karena berada di antara bakteri dan jamur.
"Jadi masuk dalam katagori bakteri artifisial yang memang tricky banget bahkan pengobatannya harus dengan antibiotik 'golongan dosis tinggi' ya," jelasnya.