Sunat Perempuan, Bermanfaat atau Bahaya?
- unsplash
VIVA – Praktik sunat perempuan telah menjadi topik kontroversial dengan berbagai pandangan di kalangan ulama. Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, memiliki perspektifnya terkait isu ini.Â
Majelis Tarjih dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan bukan bagian dari tuntunan agama, melainkan sebuah tradisi yang tidak memiliki dasar dalam dalil agama yang jelas.
Pandangan ini muncul karena keyakinan bahwa landasan hukum untuk sunat perempuan tidak dapat ditemukan dalam ajaran Islam yang otentik.Â
Majelis Tarjih menyoroti perbedaan dengan sunat laki-laki, yang diakui memiliki dasar hukum yang jelas dalam dalil agama. Berbeda dengan sunat laki-laki yang merujuk pada dalil yang eksplisit, tidak ada dalil yang secara spesifik menyebutkan sunat perempuan.
Dengan pertimbangan kurangnya dalil, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa sunat perempuan seharusnya tidak dilakukan. Keputusan ini didasarkan pada penilaian teliti terhadap manfaat dan madharat (kerugian) yang mungkin timbul dari praktik ini.Â
Muhammadiyah berkomitmen untuk menjaga integritas ajaran Islam dan melindungi perempuan dari praktik yang dianggap tidak didukung oleh nash (teks agama).
Sunat Perempuan dalam Pandangan Kesehatan Reproduksi
Pakar kesehatan reproduksi dan kader ‘Aisyiyah Jawa Barat, Dian Indahwati, memberikan penjelasan mengenai perbedaan yang signifikan antara sunat laki-laki dan perempuan dalam acara Gerakan Subuh Mengaji pada Rabu, 22 November 2023.
Dian Indahwati menjelaskan bahwa sunat laki-laki, atau yang dikenal sebagai sirkumsisi, merupakan tindakan permanen yang melibatkan pengangkatan seluruh bagian preputium yang menutupi kelenjar penis.Â
Sunat laki-laki tidak hanya dianjurkan sebagai bagian dari tradisi dan ajaran agama, tetapi juga memiliki dasar medis yang kuat, dianggap efektif dalam menjaga kebersihan organ genital laki-laki.Â
Tindakan ini dapat dilakukan sebagai bagian dari tradisi dan ajaran agama, juga untuk alasan medis seperti memperbaiki kondisi kelainan seperti fimosis, di mana preputium tidak dapat ditarik ke belakang.
Dian Indahwati menekankan bahwa sunat laki-laki dapat dilakukan secara elektif dengan tujuan meningkatkan kebersihan, mencegah penyakit menular seksual, termasuk HIV. Pengambilan preputium, dalam konteks ini, dipandang sebagai langkah preventif yang dapat mengurangi risiko tertentu.
Namun, perempuan memiliki anatomi yang berbeda, dan klitoris pada perempuan tidak berfungsi untuk berkemih sehingga tetap terjaga kebersihannya.Â
Dian Indahwati dengan tegas menyatakan bahwa memotong atau melukai klitoris pada perempuan setara dengan melukai atau memotong penis pada laki-laki. Ini menyoroti pentingnya pemahaman akan sensitivitas organ reproduksi perempuan.
Perlu dicatat bahwa, berbeda dengan sunat laki-laki, sunat pada perempuan tidak dianjurkan oleh pakar kesehatan. Dian Indahwati menyatakan bahwa tindakan ini dapat mengakibatkan masalah pada kesehatan reproduksi perempuan.Â
Dengan demikian, ini memberikan sudut pandang yang kuat terhadap pentingnya memahami perbedaan anatomi dan dampak kesehatan dari praktik sunat pada laki-laki dan perempuan.
Bahaya Sunat Perempuan
Sebagai seorang pakar kesehatan reproduksi, Dian Indahwati memberikan penjelasan terperinci mengenai dampak segera dan jangka panjang, termasuk dampak psikologis yang sering diabaikan dalam praktik sunat perempuan.
Sirkumsisi pada laki-laki sering dilakukan dengan menggunakan obat bius atau anestesi untuk mengurangi rasa sakit. Sebaliknya, sunat pada perempuan, atau yang dikenal sebagai Pemotongan Genital Perempuan (P2GP), menurut Dian Indahwati biasanya tidak melibatkan penggunaan obat bius. Hal ini menyebabkan perempuan mengalami nyeri yang hebat selama prosedur.
Organ genital eksterna perempuan memiliki pembuluh darah yang banyak, sehingga tindakan P2GP dapat menimbulkan perdarahan hebat. Jika luka tidak dirawat dengan baik, risiko infeksi, pembengkakan jaringan, dan kesulitan berkemih dapat muncul.
P2GP juga melibatkan pemotongan struktur genital seksual yang sensitif, termasuk glans klitoris dan sebagian labia minora. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan respon dan kepuasan seksual.Â
Selain itu, pembentukan jaringan parut pada vulva dapat menyebabkan nyeri, terutama saat berhubungan seksual. Dampak jangka panjang ini menyoroti betapa kompleksnya konsekuensi dari praktik sunat perempuan terhadap kesehatan seksual perempuan.
Selain dampak fisik, P2GP juga menciptakan pengalaman traumatis bagi anak perempuan atau perempuan yang menjalaninya. Dian Indahwati menekankan bahwa aspek psikologis ini seringkali diabaikan.
Pengalaman traumatis ini dapat menyebabkan masalah kesehatan jiwa yang serius, menciptakan beban psikologis yang berkepanjangan.
Dengan menyoroti dampak segera, jangka panjang, dan psikologis, paparan Dian Indahwati ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang kompleksitas isu sunat perempuan.Â
Kesadaran ini diharapkan dapat membantu masyarakat dan para pembuat kebijakan untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam terhadap isu kesehatan dan hak perempuan.