Bali Tolak Program Nyamuk Wolbachia, Kemenkes Angkat Bicara

Ilustrasi nyamuk.
Sumber :
  • Pexels/icon0.com

BALI – Program pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui metode penyebaran nyamuk Wolbachia sudah dilepas ke beberapa provinsi, termasuk Bali. Sayangnya, program yang dicanangkan oleh Kemenkes ini mendapat penolakan di Pulau Dewata. 

Bule Rusia Dideportasi, Overstay hingga Tak Bayar Tagihan RS Rp 33 Juta di Bali

Imbasnya, penerapan teknologi Wolbachia yang seharusnya sudah berjalan pada 12-13 November 2023 di wilayah Denpasar dan Buleleng, Bali, ditunda. Hal itu karena banyak masyarakat yang takut dan khawatir karena tidak mengetahui dampak risiko hingga manfaat dari teknologi tersebut. Scroll untuk informasi selengkapnya.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, dr. Maxi Rein Rondonuwu, turut mengomentari mengenai penolakan tersebut. Menurutnya, sosialiasi terkait nyamuk Wolbachia di Bali memang cenderung kurang. 

Dispar Bali Lakukan Sidak di Desa Wisata Kertha Gosa

"Memang kalau pelaksanaan di Bali, sosialisasi sangat kurang sehingga masyarakat di sana belum terinformasi manfaatnya dan perlu dilakukan sosialisasi terus-menerus," ujar Maxi dalam media breafing bersama Kemenkes, yang digelar virtual, Jumat 24 November 2023. 

Masyarakat Bali Mulai Lirik Motor Listrik Honda EM1

Terlebih menurut Maxi, program nyamuk Wolbachia ditangani oleh salah satu donatur sehingga koordinasi antara dinas dan lapangan dinilai masih kurang. Terkait hoax yang beredar, Maxi mengatakan, Kemenkes akan terus berupaya memberi informasi yang baik dan benar. 

Sementara itu, Pengajar dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof dr Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D, menjelaskan, sosialisasi ke masyarakat terkait penanganan DBD tidak hanya seputar nyamuk aedes aegypti saja. 

"Nomor satu upaya higienitas sanitasi, pemberantasan sarang nyamuk, 4M harus dilakukan. Kedua khusus dengue, mengajak masyarakat memahami yang jadi penyebab DBD itu virusnya, virus dengue yang dibawa nyamuk aedes aegypti," tuturnya.

"Masyarakat diajak untuk membedakan dua hal ini baru kemudian pesan berikutnya adalah Wolbachia ini yang dilawan targetnya adalah virusnya, bukan hanya nyamuknya tapi virusnya. Kita mengeluarkan nyamuk yang sudah ber-wolbachia untuk melwan virusnya. Upaya pemberantasan sarang nyamuk harus terus dilakukan karena nyamuk gak cuma satu dan temannya banyak," sambungnya.

Lebih lanjut menurut Prof Uut, sapaannya, pola paling efektif untuk menyebarkan nyamuk Wolbachia ini dilihat dulu dari yang sudah dilakukan di Yogyakarta, dengan meletakkan telur aedes aegypti di dalam ember kecil dengan pakan yang ada di dalam air. 

Ilustrasi nyamuk

Photo :
  • Pixabay

"Ember ini sudah diberi lubang sehingga satu dua minggu berkembang jadi nyamuk dewasa. Setiap dua minggu sekali ember ini kita ganti telur pakan dan air, dan gak setiap rumah dititipi ember, jaraknya 75 meter atau dalam radius 75 meter bisa diletaki ember. Dalam berjalannya waktu dalam 6 bulan setelah Wolbachia sudah 60 persen nyamuk sudah ber-wolbachia, maka kita hentikan. Itu yang dilakukan di Jogja dan kota lain yang pilot implementasi," jelasnya. 

"Di negara lain yang lakukan ini tidak menggunakan ember tapi container berbeda. Dimasukkan ke dalam kapsul, ada beberapa cara untuk menyebarkan. Saat ini memilih ember karena sisi budaya, ember sering digunakan untuk hal-hal baik, kami gunakan ember," imbuh Prof Uut. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya