Resmi Diakui Penyakit oleh WHO, Meutya Hafid Sayangkan Infertilitas Belum Ditanggung Pemerintah

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid.
Sumber :

VIVA Lifestyle – Meutya Hafid, seorang politisi Partai Golkar dan Ketua Komisi I DPR, merilis buku terbarunya yang berjudul "LYORA: Keajaiban yang Dinanti". Buku ini mengisahkan perjalanan pribadinya yang mengharukan ketika ia mengandung putrinya, Lyora, setelah 10 kali percobaan bayi tabung

Senjata Ampuh Berantas Korupsi

Dalam bukunya, dengan jujur Meutya menceritakan tantangan yang dihadapinya bersama sang suami, Noer Fajrieansyah. Ia juga membagikan perasaan putus asa yang mengiringi setiap upaya bayi tabung yang gagal. Yuk, scroll untuk tahu cerita lengkapnya.

Sebagai pejuang dua garis biru, ia juga menyampaikan pesan penting bahwa infertilitas adalah suatu masalah kesehatan yang serius, dan setiap pasangan berhak mendapatkan dukungan dan akses terhadap perawatan yang diperlukan.

BPOM Targetkan WHO Maturity Level 4 untuk Tingkatkan Kualitas Pengawasan Kesehatan Masyarakat

“Masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh Pemerintah, padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas,” ungkap Meutya, dalam keterangannya, dikutip Senin 13 November 2023. 

Indonesia Bangun Tembok Digital Super Kuat untuk Lawan Hacker

CEO Morula IVF Indonesia, Dr. dr. Ivan R. Sini, GDRM MMIS FRANZCOG Sp.OG, mengungkapkan, saat ini terdapat 4,8 juta perempuan yang sedang berjuang menghadapi infertilitas. Dalam konteks ini, Meutya menekankan pentingnya pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit. Dengan pengakuan ini, diharapkan akan ada lebih banyak perhatian dan pemahaman yang diberikan kepada pasangan infertil. 

Selain itu, Meutya juga menyoroti bahwa kesehatan reproduksi adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara. Ia percaya bahwa pasangan yang sulit mendapatkan keturunan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perawatan dan dukungan dari pemerintah. 

“Pada saat saya berumur 37 tahun menjalani program bayi tabung IVF, sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik. Alhamdulillah, saya berhasil hamil pada usia 44 tahun dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah,” tuturnya.

Menurut Meutya, ada beberapa alasan mengapa pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit ini menjadi penting:

Akses ke perawatan medis yang tepat
Dengan mengakui infertilitas sebagai penyakit, individu yang mengalami masalah kesuburan akan memiliki akses yang lebih baik ke perawatan medis yang tepat. Pengakuan ini dapat memastikan bahwa layanan kesehatan yang diperlukan, seperti diagnosis, pengobatan, dan perawatan reproduksi, tersedia dan dapat diakses dengan mudah.

Peningkatan dukungan psikologis 
Infertilitas dapat memiliki dampak emosional yang signifikan pada individu dan pasangan yang mengalaminya. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu mengurangi stigma sosial dan meningkatkan dukungan psikologis bagi individu yang mengalami masalah kesuburan. Ini dapat melibatkan dukungan kelompok, konseling, dan sumber daya lainnya yang dapat membantu individu dan pasangan menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan infertilitas. 

Perlindungan hukum dan hak individu 
Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat memberikan perlindungan hukum dan hak-hak individu yang mengalami masalah kesuburan. Ini dapat mencakup hak untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat, perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja atau dalam asuransi kesehatan, dan hak untuk mengadopsi atau mengakses teknologi reproduksi seperti In Vitro Fertilization (IVF).

Peningkatan kesadaran dan edukasi
Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang masalah kesuburan. Ini dapat mengurangi stigma dan kesalahpahaman yang terkait dengan infertilitas, serta meningkatkan pengetahuan tentang opsi perawatan dan dukungan yang tersedia bagi individu yang mengalami masalah kesuburan.

Buku "LYORA: Keajaiban yang Dinanti" tidak hanya menginspirasi dan memberikan harapan bagi pasangan yang sulit mendapatkan keturunan, tetapi juga menyoroti pentingnya perubahan dalam pendekatan masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas. 

Melalui bukunya, Meutya Hafid berharap untuk mengubah stigma dan sikap negatif yang masih sering terkait dengan masalah infertilitas. Ia ingin mendorong perubahan sosial yang lebih luas dalam pemahaman dan dukungan terhadap pasangan yang sulit mendapatkan keturunan.

Meutya juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Dengan memerhatikan isu ini, pemerintah diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan akses terhadap perawatan infertilitas dan mengakui pentingnya kesehatan reproduksi sebagai hak asasi manusia. Meutya berharap agar bukunya dapat menjadi sumber inspirasi dan pemahaman yang lebih baik tentang perjuangan pasangan yang sulit mendapatkan keturunan di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya