Pakar Minta Waspada Soal Misinformasi Dampak BPA: Berbagai Penelitian Belum Terbukti
- Pixabay.
JAKARTA – Pakar teknologi plastik Wiyu Wahono menjelaskan bahwa hasil penelitian dampak bisphenol A (BPA) terhadap manusia tidak bisa menjadi acuan. Hal tersebut lantaran hasil penelitian dampak BPA dilakukan terhadap hewan percobaan.
Menurutnya, hasil eksperimen tersebut tidak relevan apabila ingin diterapkan ke manusia. Hal itu sekaligus meluruskan hasil penelitian yang dilakukan oleh universitas di Indonesia di mana mereka memberikan zat BPA ke hewan percobaan. Scroll untuk informasi selengkapnya.
"Kalaupun binatang-binatang tersebut mendapatkan masalah kesehatan maka tidak bisa diambil kesimpulan bahwa BPA juga akan menyebabkan masalah kesehatan di manusia," kata Wiyu di Jakarta.
Pernyataan tersebut sekaligus membantah hoax BPA yang disebut-sebut bisa membahayakan kesehatan manusia. Kekesalan yang timbul dari keresahan berita bohong tersebut diungkapkan melalui akun Tiktok @doktor_plastik.
Dalam video tersebut, dosen teknologi plastik di salah satu kampus di Jerman itu juga meminta masyarakat untuk waspada dan tidak termakan akan informasi palsu yang dimaksud. Masyarakat diminta untuk lebih kritis dalam mencerna informasi terkait BPA.
"Ini adalah disinformasi yang kita harus waspadai," tegasnya.
Dia mengungkapkan bahwa banyak negara di Eropa juga tidak mengatur terkait regulasi BPA kecuali pada botol bayi. Dia melanjutkan, bahkan permintaan otoritas keamanan pangan Eropa (EFSA) untuk menurunkan tolerable daily intake (TDI) BPA ditolak oleh Badan Pengawas Obat Eropa (EMA).
EFSA ingin menurunkan TDI dari 4 mikrogram ke 0,2 nanogram/kilogram berat badan/hari atau 20 ribu kali lebih rendah. TDI merupakan perhitungan batas toleransi migrasi senyawa kimia dari kemasan pangan yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Penolakan penurunan TDI tersebut juga dilakukan oleh badan keamanan pangan dan kimia Jerman (BfR). Kedua lembaga keamanan pangan tersebut beralasan bahwa hasil riset kepada binatang percobaan tidak otomatis bisa berlaku bagi manusia.
"Dan juga tidak ada bukti bahwa angka 0,2 itu angka aman. Angka 0,2 nano itu juga nggak jelas datang dari mana," katanya.
Seperti diketahui, belakangan banyak beredar informasi bahaya BPA yang terjadi dalam kemasan galon guna ulang. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin sebelumnya juga telah menegaskan bahwa air kemasan galon isi ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil. Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang merupakan berita bohong.
Banyak pakar atau ahli mulai dari zat kimia, dunia medis hingga hukum menilai bahwa polemik isu dan dorongan labelisasi BPA hanya persaingan usaha semata. Hal tersebut juga diungkapkan Pakar hukum persaingan usaha, Profesor Ningrum Natasya Sirait. Menurutnya, isu dan dorongan labelisasi BPA sarat dengan persaingan usaha karena hanya menyasar pada satu kemasan pangan, yakni galon guna ulang.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu pun meminta pemerintah untuk tidak memaksakan labelisasi tersebut. Terlebih bahaya BPA dalam dunia kesehatan sebenarnya juga masih pro dan kontra alias ambigu.
"Jadi, ya jangan dong itu dipaksakan menjadi beban para konsumen nantinya. Sebagai pakar hukum bisnis, saya hanya mempertanyakan regulasi pelabelan BPA itu sebenarnya untuk kepentingan siapa?" katanya.