Gawat! Indonesia Masuk Daftar Negara dengan Kasus DBD Tertinggi di Dunia
- ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
JAKARTA – Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kasus Demam berdarah (DBD) tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh situasi iklim dan demografi Indonesia. Demam berdarah juga menjadi penyakit yang berdampak pada kualitas hidup seseorang, dan bisa memberikan tekanan pada keluarga, sistem perawatan kesehatan, serta ekonomi.
Koordinator Substansi Arbovirosis, dr. Asik Surya, MPPM, mengatakan, interaksi agent, host dan lingkungan pada DBD merupakan suatu penyakit yang menempatkan semua orang memiliki risiko untuk tertular, dengan golongan tertinggi untuk penderita DBD adalah usia 0-14 tahun sebesar 49,8 persen. Scroll untuk info selengkapnya.
"Kasus DBD ini diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini. Terdapat beberapa strategi nasional dalam menanggulangi DBD di Indonesia menuju zero dengue death 2030," ujar dr Asik dalam acara InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023 - Resume Plenary Session 2, bertajuk Burden of Dengue in Indonesia yang digelar Takeda di Jakarta, belum lama ini.
"Strateginya antara lain, Koalisi Bersama Lawan Dengue, pemberantasan sarang nyamuk 3Mplus, melalui G1R1J (Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik), Pokjanal DBD menggerakan G1R1J dan novasi terkini seperti teknologi nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia sebagai upaya pelengkap strategi penanggulangan DBD, vaksin dengue yang telah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM). Saat ini vaksinasi dengue dapat diberikan kepada masyarakat dengan rentang usia 6-45 tahun berdasarkan rekomendasi dokter," sambungnya.
Namun, dokter Asik mengungkap berbagai strategi tersebut masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan upaya bersama. Antara lain utamanya dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat karena pemberdayaan masyarakat masih menjadi peran utama pencegahan dan penanggulangan DBD.
Berada di tempat yang sama, Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM, dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H., memaparkan, kasus dengue mengalami kenaikan yang dramatis. Per tahun, diestimasikan ada 58 juta hingga 105 juta kasus di seluruh dunia.
"Kenaikan juga terlihat pada disability-adjusted life year (DALY). Di mana pada tahun 1990 berada pada 800 ribu, dan tahun 2016 menyentuh angka 2,8 juta," ungkapnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
"Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban DBD yang terbesar di dunia, di mana diestimasikan ada sekitar 7.8 juta kasus DBD. Dari sisi beban keuangan DBD, sebagian besar ditanggung dengan keuangan rumah tangga, dan diikuti oleh JKN dan kontribusi dari kerabat," tambahnya.
Lebih lanjut menurut dr. Nandyan, ada beberapa pilihan lain untuk intervensi DBD, termasuk protokol observasi praktikal yang bisa melalui data pengawasan dengan sampel yang kecil, namun representatif dari rumah sakit di daerah tersebut.
Selain itu, penggunaan nyamuk yang dimasukkan bakteri Wolbachia, dengan keuntungan bisa mengurangi kasus DBD, namun tergantung dengan seberapa luas daerah untuk biayanya. Kota di Indonesia yang menjadi prioritas program ini antara lain Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Denpasar, dan Mataram.
"Vaksin DBD yang bisa mengurangi kasus DBD, namun tergantung dengan seberapa banyak individu yang terlindungi untuk biayanya. Kota di Indonesia yang menjadi prioritas program ini, di antaranya Banda Aceh, Batam, Padang, Samarinda, dan Manado," kata dr. Nandyan.
Dampak ekonomi demam berdarah di Indonesia
Guru Besar FKM UI, Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc, memaparkan, di Indonesia, Aedes aegypti and Aedes albopictus adalah vektor primer dan sekunder untuk transmisi DBD. Jumlah rata-rata kasus DBD tahunan yang dilaporkan ke otoritas kesehatan di Indonesia lebih dari 129 ribu untuk periode antara 2004 dan 2010, tingkat insiden tertinggi kedua di dunia setelah Brasil.
Kemudian menurutnya, pelaporan DBD di Indonesia diakui belum lengkap dan prosedur pelaporan antar provinsi sangat bervariasi. Sebuah studi pemodelan kartografi tahun 2013 memperkirakan bahwa sekitar 7,6 juta infeksi DBD mungkin telah terjadi di Indonesia pada tahun 2010, yang sebagian besar tidak dilaporkan.
"Penyakit ini biasanya paling umum di daerah perkotaan, namun, daerah pedesaan semakin terpengaruh. Selain itu, wabah epidemi DBD secara tradisional tampaknya menjadi lebih tidak menentu dalam beberapa dekade terakhir," tuturnya.
Lebih dalam, Prof Mardiati Nadjib menjelaskan, total cost (direct dan indirect) bahkan mencapai US$791 di Yogyakarta, US$1.241 di Bali and US$1.250 di Jakarta. Beban DBD setiap tahunnya menurut penelitian Sheppard (2018) banyak berasal dari biaya rawat inap (922 ribu orang) dan rawat jalan (1,7 juta orang)," pungkasnya.
"Sementara perawatan sendiri (4,6 juta orang) sehingga harus berhenti bekerja atau sekolah, sehingga diperkirakan Indonesia kehilangan 311.744 DALY’s setiap tahun yang terdiri dari 71,9 persen karena disabilitas dan 28,1 persen karena fatalitas," sambungnya.
Dengan besarnya beban ekonomi pada kasus DBD, Prof Mardiati mengatakan, Indonesia harus memperbaiki sistem pencatatan pelaporan kasus, meningkatkan pencegahan seperti vektor kontrol dan pengembangan vaksin untuk menekan beban itu mengingat Indonesia adalah daerah endemis DBD.
"Apabila hal ini tidak dilakukan, Indonesia berpotensi mengalami kerugian. Jika Indonesia tidak bisa menekan beban ekonomi akibat DBD, maka jumlah kasus akan terus meningkat. Bila jumlah kasus meningkat tentu beban ini akan meningkat, termasuk beban bagi BPJS kesehatan dan Pemerintah serta masyarakat sendiri," imbuh Prof Mardiati.
Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, Andreas Gutknecht, dalam wawancara terpisah, mengatakan, pihaknya menghargai kontribusi InaHEA dalam meningkatkan kesadaran tentang beban penyakit demam berdarah di Indonesia dan dampaknya pada kesehatan masyarakat.
"Kami juga merasa terhormat atas kepercayaan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam menjalin kemitraan yang kuat untuk berbagai upaya pencegahan DBD, sejalan dengan tujuan nol kematian akibat DBD di Indonesia pada tahun 2030," katanya.
"Komitmen Takeda terhadap masalah DBD tercermin dalam keterlibatan kami dalam inisiatif seperti KOBAR (Koalisi Bersama) Lawan Dengue sebagai salah satu anggota pendiri dan dalam pelaksanaan kampanye masyarakat #Ayo3mplusVaksinDBD yang mendukung upaya pencegahan dan pengendalian DBD yang komprehensif," tutup Andreas Gutknecht.