Tentang Regulasi Iklan Produk Tembakau, ATVSI Khawatirkan Hal Ini
- dw
JAKARTA – Polemik terkait pengetatan iklan dan promosi rokok pada media penyiaran dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Kesehatan semakin memanas. Industri pertelevisian nasional menuntut adanya keadilan dan transparansi dalam pembahasan aturan ini.
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengungkapkan ketidakpuasan mereka karena belum dilibatkan dalam proses perumusan RPP tersebut. Scroll lebih lanjut ya.
Ketua Umum ATVSI, Syafril Nasution, menekankan bahwa pihaknya belum pernah diundang untuk public hearing yang digelar oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Itu nggak fair (tidak adil). Kenapa nggak fair? Pertama, kami tidak pernah tahu tentang public hearing tersebut dan tidak diundang sebagai (perwakilan) media TV," ujarnya dengan tegas.
Rencana perubahan jam tayang iklan produk tembakau yang kini berlaku mulai jam 21:30 sampai jam 05:00 menjadi jam 23:00 sampai 03:00 pagi dinilai sebagai tindakan yang kurang dipertimbangkan.
"Rencana pengetatan ini dinilai tidak efektif dan diyakini hanya akan merugikan industri kreatif dan media, termasuk TV," kata Syafril.
"Harusnya diriset dulu, apakah dengan melarang iklan produk tembakau ini, orang jadi tidak akan merokok atau malah tidak ada perubahan?," sambungnya.
Syafril juga menegaskan pentingnya mempertimbangkan dampak ekonomi yang akan dirasakan oleh banyak orang yang bergantung pada industri tembakau.
"Semua pihak, terutama pemerintah, seharusnya memperhatikan keberlangsungan mata rantai dari industri tembakau," ungkapnya.
Sebagai tanggapan, Gitadi Tegas, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (UNAIR), mengatakan bahwa perlu ada klarifikasi lebih lanjut dalam peta instrumen kebijakan.
"Kalau peta dari instrumen kebijakan yang dibutuhkan belum clear, maka aturannya tidak akan efektif," tuturnya.
Gitadi juga menyarankan Kemenkes untuk tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan RPP ini.
"Sebagai leading sector, Kemenkes harus bijaksana dalam perumusannya dan melibatkan pihak yang akan terdampak," katanya.
Dengan begitu, terjadi kebutuhan mendesak untuk diskusi yang lebih inklusif dan komprehensif agar kebijakan yang diambil nantinya dapat benar-benar efektif dan adil bagi semua pihak yang terlibat.