Kronologi Bocah di Bekasi Meninggal karena Mati Batang Otak Usai Operasi Amandel

Ilustrasi anak sakit.
Sumber :
  • freepik/lifeforstock

BEKASI – Malang betul nasib bocah di Bekasi berinisial A yang baru berusia 7 tahun. Bocah A meninggal dunia usai menjalani operasi amandel yang diakibatkan penyakit mati batang otak hingga kejadian ini menjadi perhatian masyarakat luas. Lantas, bagaimana kronologinya?

Ibunda Meninggal Dunia, Dede Yusuf Ungkap Keinginan yang Belum Tercapai

Pihak keluarga melalui pengacara menyebut bahwa ada dugaan malpraktik dari rumah sakit atas tindakan operasi amandel terhadap A. Sebab, diagnosis yang diberikan membuat keluarga bingung lantaran korban A meninggal dunia akibat mati batang otak setelah amandelnya yang membengkak dioperasi.

Foto ilustrasi tindakan operasi.

Photo :
  • Pixabay/pexels
Dede Yusuf Sebut Ibunda Sosok Tangguh, Alami Serangan Jantung hingga Sempat Idap Kanker

Dalam konferensi pers kepada awak media, Komisaris RS Kartika Husada Jatiasih, Bekasi, dr Nidya Kartika Yolanda mengungkapkan secara transparan kronologi pasien A operasi hingga meningga dunia. Dijelaskan Nidya, keluarga pertama kali datang ke RS Kartika Husada Jatiasih untuk melakukan operasi amandel pada pasien A dan kakaknya, berinisial J berusia 10 tahun.

Operasi amandel dilakukan dengan rentang waktu berbeda pada kedua kakak beradik ini. Pasien A lebih dulu dilakukan operasi pada pukul 12.00 WIB dan pasien J operasi amandel setelahnya pada pukul 15.00 WIB.

Kronologi Meninggalnya Ibunda Dede Yusuf, Sempat Alami Serangan Jantung

"Mereka masuk berdua, kondisi awal mirip abang dan adek. Adek operasi duluan jam 12, abang jam 3. Setelah operasi, adek nggak apa-apa, saat operasi aman, tidak ada pendarahan yang berarti," jelasnya kepada awak media.

Usai operasi, kondisi pasien A ini terlihat stabil sehingga pihak tenaga medis segera melakukan pemindahan ke ruang rawat. Tenaga medis juga sempat memanggil orang tua untuk memberitahu kondisi pasien yang sudah berhasil dilakukan operasi amandel. Saat berada di ruang rawat, korban A mengalami kejang-kejang hingga dipindahkan ke ruang ICU.

"Pada saat terjadi kondisi itu ada orang tua yang menemani, dan pada saat itu ada tim medis juga di sana. Setelah adek mendapat tindakan, dipindahkan ke ICU. Kita tanya lagi ke orang tua, ini ada abang, apakah tetap mau dioperasi? Karena adek sudah begini masuk ICU. Orang tua pasien tetap bilang iya dok, nggak apa-apa," ungkapnya.

Namun ternyata, kondisi pasien A kian mengalami penurunan drastis hingga dokter menemukan bahwa ia mengalami mati batang otak. Menurutnya, mati batang otak pada operasi amandel menjadi salah satu risiko dengan kasus yang cukup jarang terjadi. Hal itu juga bisa dikaitkan dengan kondisi pasien hingga riwayat medisnya.

"Sudah ada risiko itu (mati batang otak). Kita tidak tahu, badan masing-masing orang itu kan berbeda. Kita nggak tahu kondisi medis sebelumnya, reaksi si anak ini (setelah operasi amandel), itu kan bisa berbeda setiap orang," jelasnya

Kendati begitu, pihak rumah sakit tetap berupaya mencaritahu penyebab dari pasien A meninggal dunia dengan diagnosa mati batang otak itu. Upaya yang dilakukan dengan merujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang memadai dibanding RS Kartika Husada. Ditegaskan Nidya, pihaknya sudah mencari rujukan hingga ke 80 rumah sakit di seluruh Jabodetabek.

"Sampai kemarin kami sudah mencari lebih dari 80 rumah sakit rujukan dengan jaminan umum di seluruh Jabodetabek. Tim medis bersurat ke kolegium masing-masing agar bisa mendatangkan konsultan ke RS Husada agar dapat melakukan pemeriksaan langsung kepada adek BA serta mencari jurnal kesehatan sebagai acuan dalam berdiskusi dengan harapan bisa mendapat second atau third alternatif terapi," bebernya.

Kondisi pasien A yang sudah semakin menurun dan kritis, membuatnya akhirnya kehilangan nyawa. Nidya menyayangkan sikap rumah sakit lain yang menolak permintaan rujukan tersebut hingga tak dapat membantu kondisi pasien A.

"Alasannya tidak bisa membantu. Mungkin karena kondisi anak yang memang non-transferable, berisiko sekali kalau sampai di sana. Ini kan ada kasus hukum, di mana-mana rumah sakit tidak mau menerima karena takut terbawa-bawa. Di sana kesulitan kami sebenarnya," kata Nidya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya