Marak Sunscreen SPF Abal-abal, BPOM Sentil Influencer
- ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyoroti maraknya promosi kosmetik di media sosial yang sebagian besar tidak memenuhi aturan. Hal itu dampak dari maraknya produk sunscreen yang sempat menghebohkan karena berbohong klaim nilai SPF di dalamnya.
Marak sunscreen abal-abal ini lantaran ramai di pasaran terkait klaim SPF 50 atau lebih, namun nyatanya hasil laboratorium menyatakan hanya SPF 2. BPOM menilai bahwa produk sunscreen dengan menipu nilai SPF tersebut pada dasarnya sebagai bentuk klaim sepihak. Scroll untuk informasi selengkapnya.
"Artinya dia klaim SPF-nya 50 ternyata dari aspek formula kandungannya tidak memenuhi klaim tersebut, itu ada datanya. Pada saat setelah produk beredar, kita juga melihat klaim tersebut penandaan misalnya SPF-nya 30 kemudian kita melakukan auditnya ternyata tidak sesuai kita kita minta disesuaikan," ujar Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik, Reri Indriani, di Jakarta, baru-baru ini.
BPOM menggarisbawahi hal itu bahwa produk tersebut bisa diketahui masyarakat awam dari peran promosi kosmetik di media sosial. Reri mengatakan bahwa promosi kosmetik di media sosial yang tidak memenuhi aturan mencapai 23 persen sehingga cukup memprihatinkan. Hal itu pun dinilai berisiko membahayakan kesehatan masyarakat yang 'tertipu' dengan promosi kosmetik tanpa memahami kandungan di dalamnya.
"(Dari 23 persennya itu) 77 persennya berasal dari media online dan media sosial (seperti) TikTok, Youtube, atau e-commerce," tambahnya.
Reri menegaskan bahwa promosi kosmetik yang dilakukan influencer di media sosial ini, harus benar-benar memahami kandungan medis dari produk yang dipromosikannya. Aturan mempromosikan kosmetik juga harus diterapkan sehingga tak asal memberi ulasan untuk sekadar viral.
"Harus patuh pada aturan, jangan pansos untuk mendapatkan likes sebanyak-banyaknya, tapi mendiskreditkan penyampaian informasi yang tidak benar kepada masyarakat," tegas Reri.
Lebih dalam, Reri menjelaskan bahwa BPOM sudah bekerjasama dengan berbagai pihak agar promosi produk kosmetik bisa sesuai aturan sehingga memberi manfaat pada masyarakat. Dengan begitu, produk lokal yang dipromosikan oleh influencer dan beauty enthusiast di media sosial juga tak akan membahayakan penggunanya.
"Kerjasama dengan seluruh asosiasi ke depan kita perkuat dengan BPOM RI, mengawal daya saing produk lokal Indonesia tidak bekerja sendiri. Review-review yang tidak bertanggung jawab itu luar biasa," imbuhnya.
Sebelumnya, kosmetik tabir surya dengan klaim SPF, wajib dinotifikasi di BPOM dan dievaluasi dengan penekanan pada aspek keamanan, manfaat, dan mutu produk. Evaluasi juga mencakup pemenuhan persyaratan cara pembuatan kosmetik yang baik dan formula, untuk memastikan bahan dan proses yang digunakan telah memenuhi peraturan.
Pengujian untuk mendapatkan gambaran nilai SPF, dapat dilakukan melalui dua metode uji yaitu uji in vitro dan uji in vivo. Uji in vitro dilakukan menggunakan alat spektrofotometri ultra violet (UV). Uji ini digunakan sebagai uji pendahuluan (pre-eliminary) untuk menentukan perkiraan nilai SPF tabir surya dan belum dapat belum dapat dijadikan acuan untuk menetapkan nilai SPF.
Sedangkan uji in vivo merupakan metode uji standar utama (gold standard) dalam menentukan nilai SPF kosmetik. Uji ini menggunakan subjek uji manusia, sehingga lebih menggambarkan nilai SPF yang sebenarnya. Hasil uji in vitro dan in vivo belum tentu menunjukkan nilai yang sama.
Untuk pencantuman klaim dan nilai SPF, BPOM menggunakan data dukung yang berasal dari hasil uji in vivo untuk menentukan nilai SPF yang dapat dicantumkan pada produk kosmetik tabir surya.
Hasil pengawasan melalui audit Dokumen Informasi Produk (DIP) produk tabir surya yang dilakukan secara risk based terhadap pemilik izin edar tahun 2020 – 2023, diperoleh data temuan produk yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) sebesar 100 persen (2020), 100 persen (2021), 53 persen (2022), dan 100 persen (2023). Temuan tersebut antara lain disebabkan karena pemilik izin edar tidak dapat memberikan data dukung pembuktian nilai SPF.