Seks Sebagai Bahasa Cinta, Profesor Ini Malah Minta Perempuan Setop Berhubungan Seks, Kenapa?
- Freepik/nikitabuida
JAKARTA – Berhubungan seks diketahui menjadi salah satu dari sekian banyak cara yang dilakukan pasangan suami istri untuk mencurahkan kasih sayang. Dengan berhubungan seks juga diyakini kehidupan rumah tangga seseorang dapat bertahan lama.
Namun seorang filsuf feminis terkemuka yang juga seorang Profesor Filsafat Politik di Universitas Melbourne, Holly Lawford-Smith menyebut perempuan harus berhenti berhubungan seks dengan laki-laki.
Sebab katanya, berhubungan seks ini sangat berpusat pada laki-laki. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Dia mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat bermasalah tentang cara sebagian besar pasangan berhubungan seks.
Dia berkata bahwa sebagian besar waktu dalam seks penetrasi dihabiskan untuk pria seperti masturbasi dengan tubuh istrinya dan itu bisa berlangsung sekitar setengah jam, sampai terasa sakit.
Berbicara di podcast Quillette, Ms Lawford-Smith mengklaim dia seorang anti seks heteroseksual.
Hal ini karena bahkan seorang pria yang dianggap sebagai pasangan yang baik hanya akan berbasa-basi untuk memastikan kenikmatan seksual seorang wanita dan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur untuk melakukan hal-hal yang membuatnya merasa nyaman.
Ketika podcaster Zoë Booth menjawab bahwa itu bukan pengalamannya berhubungan seks, Lawford-Smith bersikeras bahwa hal itu terjadi pada banyak wanita di dunia karena sebagian besar belum pernah orgasme.
Dia menambahkan, bahwa sejumlah kecil wanita yang bisa mencapai orgasme dari seks penetrasi mungkin memiliki pengalaman yang sangat berbeda karena mereka tidak seperti sedang melakukan masturbasi.
“Tapi, jumlah itu cukup kecil dari seluruh perempuan, dan dari semua hubungan seks heteroseksual yang terjadi di dunia, 90% di antaranya mendominasi,” kata dia mengutip laman Daily star.
Dia yakin pada awalnya sebagian besar perempuan sudah terbiasa dimanfaatkan dan dibuang secara seksual.
Wanita tersebut menambahkan bahwa pornografi juga mempunyai permasalahan serupa, dan para feminis yang positif terhadap seks hanya berpura-pura santai terhadap hal tersebut karena mereka ingin terlihat keren.
“Saya membaca buku ini yang mempunyai pengaruh cukup besar bagi saya. Ini tentang perang pornografi dan dia hanya menjelaskan bahwa motivasi untuk menjadi feminis yang positif terhadap seks dan menjadi semacam pro-pornografi adalah karena hal itu membuat wanita merasa keren pada saat itu,” ujarnya.
“Mereka adalah gadis-gadis yang keren dan santai serta tidak marah pada dunia. Tetapi pertanyaannya adalah apakah kita harus marah pada dunia,” lanjutnya.
Seseorang seperti Andrea Dworkin akan mengatakan bahwa hal ini benar-benar propaganda kebencian ada perempuan yang dianiaya dan dimanfaatkan dan terkadang dibunuh dan diperkosa di layar untuk hiburan seksual laki-laki.
“Apakah kita ingin merasa keren? Atau apakah kita ingin benar-benar marah atas ketidakadilan yang menimpa seorang perempuan?,” tegasnya.