Peneliti Unpad: E-Liquid Tak Sebabkan Masalah Kesehatan pada Gusi
- ist
JAKARTA – Informasi yang tidak akurat terkait produk tembakau alternatif masih banyak beredar di Indonesia. Tak jarang, misinformasi tersebut disebar tanpa adanya bukti sains yang kuat dan terbukti.
Menyadari hal tersebut, Prof. Dr. drg. Amaliya, M.Sc., Ph.D., peneliti dan dosen pengajar dari Fakultas, Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran (Unpad), tergerak untuk mengumpulkan bukti dan melakukan penelitian mengenai produk tembakau alternatif dengan mengepankan pendekatan pengurangan bahaya.
Kini, sudah sewindu dia menekuni bidang kepakaran pengurangan bahaya tembakau atau tobacco harm reduction ini. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
“Semua bermula pada tahun 2016 lalu. Saya ikut serta dalam proyek penelitian Academic Leadership Program yang dipimpin oleh Prof. Dr. drg. Achmad Syawqie, MKes, tentang tobacco harm reduction yang didanai oleh Universitas Padjadjaran,” katanya dalam wawancara pada Minggu, 27 Agustus 2023 lalu.
Selain itu, Dr. Amaliya turut menjadi panelis dalam diskusi ilmiah dengan memaparkan hasil kajian klinis bertajuk “Nikotin dan Respon Gusi pada Pengguna Vape vs Perokok saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Eksperimental)”.
Prof Dr Amaliya menjelaskan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, bagi pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada para pengguna produk tembakau alternatif yang telah beralih dari rokok dibandingkan dengan perokok dan bukan perokok.
“Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respons gusi yang dinilai dari derajat peradangan gusi, yang merupakan tanda awal dari pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi selama percobaan gingivitis (peradangan gusi) pada pengguna produk tembakau alternatif dibandingkan perokok dan bukan perokok,” kata Amaliya.
Penelitian ini melibatkan 15 peserta berusia 18-45 tahun yang dibagi ke dalam tiga kriteria dengan distribusi gender tidak merata. Kriteria pertama adalah perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun.
Kriteria kedua adalah pengguna produk tembakau alternatif, yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan minimal satu tahun. Kriteria ketiga adalah bukan perokok.
Selama fase gingivitis eksperimental, peserta diinstruksikan untuk tidak menyikat gigi selama 21 hari. Tujuannya untuk melihat sejauh mana gusi merespons bakteri.
“Ada temuan menarik dari penelitian kami, yakni pengguna produk tembakau alternatif yang telah beralih dari rokok menunjukkan respons yang baik terhadap akumulasi plak atau infeksi bakteri dengan tingkat peradangan gusi seperti yang dialami non-perokok,” ujar Prof Dr Amaliya.
Dari penelitian tersebut juga mengungkapkan fakta baru. Amaliya mengatakan nikotin selama ini sering dianggap sebagai penyebab utama gangguan pertahanan gusi yang ditandai dengan penyempitan pembuluh darah.
Namun, hasil penelitian ini, membuktikan bahwa pengguna rokok elektrik dengan cairan e-liquid, yang mengandung nikotin, tetap memperlihatkan respons pertahanan gusi terhadap bakteri plak.
“Dari penelitian tersebut, kemungkinan bukan nikotin yang mempersempit pembuluh darah pada gusi dan menutupi tanda klinis peradangan yang normal, akan tetapi TAR atau kandungan lain dari rokok,” ucapnya.
Dia mempresentasikan risetnya di forum nasional dan internasional. Terakhir, dia hadir di konferensi pengurangan bahaya tembakau di Warsawa, Polandia pada 2023. Keaktifannya mengikuti konferensi membuatnya terpapar pada banyak riset.
Dari pengalaman mengikuti konferensi, Amaliya tahu bahwa bukti dampak penggunaan produk tembakau alternatif untuk pengurangan bahaya tembakau sebenarnya sudah solid.
Publikasi ilmiah tentang produk tersebut bukan hanya bersifat preliminary atau riset tahap awal dengan responden terbatas, melainkan sudah sampai tingkat systematic review alias riset yang dilakukan dengan menganalisis secara sistematis bukti-bukti yang didapatkan dari puluhan riset dengan tema yang sama.
Sains sebagai Jalan Tengah
Amaliya mengakui, jalan terbaik untuk kesehatan publik memang tidak mengonsumsi tembakau sama sekali. Namun ia menuturkan, bukti-bukti ilmiah seharusnya bisa mendorong jalan tengah, khususnya bagi para perokok yang sulit atau tidak ingin berhenti, agar tetap bisa mengurangi dampak negatif bagi dirinya maupun sekitarnya.
“Idealnya memang tidak merokok,” tegasnya.
“Tetapi walaupun sudah mengetahui risikonya, para perokok nyatanya tetap tidak berhenti. Kita harus memikirkan alternatif supaya mereka masih dapat menggunakan produk tembakau namun dengan profil risiko yang lebih rendah dibanding rokok,” sambungnya.
Untuk itu, keterbukaan pemerintah untuk melihat bukti-bukti ilmiah tentang produk tembakau alternatif diperlukan.
Sejauh ini, telah diketahui bahwa produk tembakau alternatif memiliki paparan risiko senyawa kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya lebih rendah hingga 75-95 persen daripada rokok.
Dari sisi akademik, peneliti perlu bersikap terbuka. Menurutnya perlu ada dorongan terkait riset produk tembakau alternatif yang melibatkan berbagai pihak.
Kolaborasi antar-universitas, pihak swasta, dan publik, termasuk para pengguna produk tembakau, diperlukan.
“Dari pengalaman saya, ada yang tadinya mempertanyakan soal produk tembakau alternatif, lama-lama mulai tertarik untuk ikut meneliti dan berkolaborasi,” pungkasnya.
Hal itu bisa jadi pelajaran penting bahwa kolaborasi bisa menyamakan visi, serta mengikis sentimen dan bias dalam pengetahuan.