Tak Mempan Minum Obat? Prosedur Ini Efektif Turunkan Hipertensi Tanpa Bedah
- Pixabay/rawpixel
JAKARTA – Hipertensi kerap dianggap sepele lantaran tak bergejala sehingga banyak pengidapnya yang tak rutin mengonsumsi obat. Padahal, pengidap hipertensi sendiri dianjurkan mengonsumsi obat seumur hidupnya demi mengontrol tekanan darah yang kerap diabaikan hingga berdampak pada komplikasi penyakitnya.
Dokter spesialis jantung, Dr. dr. Faris Basalamah, Sp.JP(K) menjelaskan, hipertensi dapat dikontrol dengan modifikasi lifestyle. Bila modifikasi lifestyle sudah dilakukan namun hipertensi tidak kunjung terkontrol, maka pemberian obat-obatan diperlukan. Scroll untuk info selengkapnya.
Sejumlah obat akan diberikan pada pasien hipertensi untuk membantu mengendalikan tekanan darah. Namun, obat-obatan ini harus dikonsumsi secara kontinu dalam jangka waktu yang lama hingga seumur hidup, tergantung derajat hipertensi.
"Hipertensi bisa dikontrol namun dengan obat. Butuh kepatuhan dari pasien tersebut. Masalahnya, angka kepatuhan orang dengan hipertensi masih rendah apalagi dengan obat yang banyak. Akibatnya, orang dengan hipertensi tidak pernah mencapai target tujuan pengobatannya," ujar dokter yang praktik di Heartology Cardiovascular Hospital ini, dalam acara media di Jakarta.
Ketidakpatuhan pasien hipertensi pada konsumsi obat ini bisa membahayakan kondisinya. Untuk kasus hipertensi resisten, tersedia prosedur canggih menggunakan gelombang radio yang menyasar saraf simpatetik untuk secara aktif mengatur tekanan darah supaya dapat terkendali. Teknologi ini disebut dengan Denervasi Ginjal (Renal Denervation).
"Prosedur ini minimal invasif, artinya tidak ada sayatan untuk memasukan sesuatu ke pembuluh darah, dalam hal ini di renal atau ginjal. Dengan melemahkan saraf simpatis dari renal arteri tersebut. Sehingga kita bisa mengontrol simpatetis tone-nya di mana itu yang akan menyebabkan hipertensi, agar orang itu tidak bergantung pada obat-obatan. Artinya tindakan itu tidak berkaitan dengan obat," imbuh dokter Faris.
Ada pun, prosedur ini adalah minimal invasif tanpa bedah. Hanya dengan memasukkan kateter lewat arteri femoralis yakni arteri besar pada pangkal paha. Untuk kemudian mengeluarkan gelombang radio intens yang diarahkan pada saraf-saraf di sekitar ginjal yang berperan pada mekanisme hipertensi.
"Ini memang untuk primary hipertensi, karena hipertensi ada yang secondary misal gangguan hormon, ginjal sebelumnya yang menyebabkan gangguan tensi sehingga yang diterapi penyebab awalnya. Kedua, pastikan ini bukan white coat hypertension. Hipertensi primer adalah kelainan genetik, belum ada penyebab pasti. Ada yang timbul usia muda, usia 30 atau setelah 40," bebernya.
Selain itu, prosedur ini dilakukan terutama pada pasien yang sudah tidak mempan dengan kombinasi beberapa obat penurun tekanan darah. Prosedur denervasi ginjal juga efektif membantu pasien hipertensi yang memiliki efek samping dari obat konvensional, serta pasien yang tidak patuh dan kesulitan mengonsumsi obat hipertensi dalam jangka panjang.
"Ini sifatnya melengkapi obat. Jadi ini untuk menurunkan kadar resisten hipertensi yg tidak turun-turun, biasanya karena tidak patuh minum obat. Bisa gantikan obat kalau obatnya nggak terlalu banyak sebelumnya, misal pada pasien yang intoleran," imbuhnya.
Menurutnya, tingkat keberhasilan prosedur ini didukung bukti klinis dengan publikasi ilmiah yang cakupan luas dan kualitas serta kuantitasnya bagus. Dokter Faris menyebutkan bahwa total orang yang sudah melakukan prosedur ini sudah lebih dari 20 ribu orang.
"Safety bagus, tidak ada gangguan terhadap pembuluh darah ginjal. Tidak ada gangguan permanen. Hanya saraf simpatisnya yang dirusak, Tidak merusak pembuluh darah renalisnya, fungsi ginjal tidak terganggu," ujarnya.
Tak heran, Renal Denervation ini terbukti terobosan baru dalam bidang medis untuk penanganan resistant hypertension di Indonesia. Renal Denervation terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup pasien-pasien hipertensi, menghindari komplikasi yang lebih jauh berupa kerusakan organ-organ tubuh yang penting akibat kasus hipertensi yang tidak tertangani dengan baik.
“Prosedur ini memiliki banyak keuntungan, antara lain aman untuk ginjal karena dilakukan dalam waktu singkat kurang lebih 1 jam, dan setelah 1-2 hari rawat inap pasien bisa langsung pulang, tidak memerlukan implan atau alat apapun sehingga sangat efektif untuk menurunkan risiko stroke, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit vaskular perifer dan kerusakan pembuluh darah retina yang mengakibatkan gangguan penglihatan” pungkas dokter Faris Basalamah.