Kiamat Bisa Terjadi dari Apa yang Kamu Makan, Kok Bisa?
- U-Report
Jakarta – Sepiring nasi padang yang berisi nasi disiram kuah, daging rendang, sambal hijau, dan sayur-sayuran memang sangat lezat. Namun, di balik kelezatannya itu ada bahaya mengintai.
Bahaya itu bukan cuma persoalan kesehatan. Tetapi lebih dari itu, yakni 'kiamat' iklim. Perlu diketahui, nasi padang, dan makanan lain, pada dasarnya memiliki jejak karbon yang berbahaya bagi lingkungan. Dalam sepotong daging, misalnya, diketahui setiap 3,5 ons daging sapi mampu menghasilkan gas rumah kaca sebanyak 50 kg.
Besarnya angka ini didapat dari rangkaian panjang rantai produksi daging itu sendiri. Dari mulai tahap penggembalaan hingga konsumsi.
Bagaimana Bisa?
Saat tahap penggembalaan, laporan PBB menyebut tak jarang para peternak membuka lahan baru untuk hidup hewan ternak seperti sapi.Pembukaan lahan ini sering menyasar hutan-hutan tertutup dan lahan hijau lain. Sehingga menimbulkan jejak karbon.Â
Lalu, saat membesarkan sapi terjadi proses pembuangan emisi berupa gas metan. Gas yang lahir dari proses pencernaan di usus dan perut sapi ini ternyata berkontribusi 30% terhadap peningkatan suhu bumi.Â
Belum lagi saat proses penjagalan. Distribusi dan konsumsi juga menghasilkan jejak karbon dari konsumsi energi yang terjadi.
Salah satunya, terjadi pada proses penyimpanan di kulkas atau lemari pendingin. Laporan Birmingham Energy Institute (2016) menjelaskan kulkas pada dasarnya menyumbang 10% dari emisi karbon global berkat pelepasan senyawa clorofluorocarbon (CFC).
Jika seluruh rangkaian itu ditotal, maka tak heran rantai produksi sepotong daging cukup untuk membuat iklim dunia berubah. Dan perlu diingat, itu hanya diperoleh dari sepotong daging.
Jika diolah menjadi menu masakan seperti rendang yang memiliki campuran santan, cabai, dan rempah, tentu ceritanya akan berbeda. Apalagi dalam sepiring nasi padang dan berbagai makanan lain seperti ketupat sayur, pizza, steak, atau spaghetti.Â
Tahun lalu, gabungan peneliti dari University of California dalam riset "The environmental Footprint of Global Food Production" (Nature Sustainability, 2022) mengungkap bahwa jejak karbon pada makanan bukan hanya berasal dari sektor peternakan. Tetapi juga pertanian, agrikultur, dan hewan air.Â
Penyebab masalahnya sama, yakni berkisar pada rantai produksi makanan. Di seluruh sektor itu, setiap rantai produksi mengandung jejak karbon, seperti penyuburan tanaman via zat kimia atau pembakaran lahan.
Berdasarkan laporan World Bank (Bank Dunia) (2021) kegiatan industri pertanian dan agrikultur saja berkontribusi 19-29% dari total emisi gas rumah kaca secara global. Atas dasar inilah, jangan heran kalau tanda 'kiamat' iklim sebenarnya bisa dilihat dari sepiring makanan, apalagi riset terbaru berjudul "Food Systems are Responsible for a Third of Global Anthropogenic GHG Emissions" (2021) mengungkap, sistem produksi makanan global berkontribusi kepada 34% emisi karbon global.Â
Kendati demikian, masalah pun bukan hanya terjadi pada persoalan produksi, tetapi juga konsumsi. Lebih tepatnya, masalah limbah makanan (food waste).
WWF sendiri menyebut kontribusi karbon dari sampah makanan di AS saja setara dengan emisi dari 32,6 juta kendaraan.
Jadi, dari 23-48 juta ton sampah terbuang di Indonesia, dan 1,1 milyar ton di dunia, berapa banyak gas berbahaya dilepas dari tumpukan sampah? Tentu akan sangat banyak dan berbahaya.Â
Untuk mengurai permasalahan ini menurut PBBÂ agak susah karena menyangkut urusan perut orang banyak. Kendati demikian, ini bisa dimulai dari pergantian menu makanan menjadi lebih ramah lingkungan.
Atau terpenting tidak membuang makanan dengan mengambil makanan secukupnya. Restoran pun bisa menerapkan denda kepada pengunjung yang tidak menghabiskan makanan, khususnya restoran all you can eat. Â
Tentu, upaya ini semua kata Tammara Soma di The Conversation tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada intervensi pemerintah, seperti penerapan aturan tegas atau penanaman materi perubahan iklim yang berkaitan dengan makanan di sektor pendidikan. Â