Berkaca Kasus Pria Obesitas 30 kg, Dokter Waspadai Risiko Tulang Keropos

Muhammad Fajri, pria berbobot 300 Kg.
Sumber :
  • VIVA/Sherly

JAKARTA – Pria berbobot tubuh hingga 300 kg yang sempat viral asal Tangerang, saat ini sedang dalam penanganan khusus oleh tim dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Mengenal Diet Autofagi yang Disarankan Dokter! Turunkan BB, Cegah Kanker Hingga Jaga Kesehatan Jantung

Pria bernama Muhammad Fajri itu terindikasi alami sejumlah komplikasi sehingga dokter menyebut kondisi obesitas itu akan ada risiko pada pengeroposan tulang.

Hal itu diungkap oleh Dokter Spesialis Radiologi Muskuloskeletal RS Abdi Waluyo, Dr. dr. Marcel Prasetyo, Sp.Rad(K) bahwa tubuh yang obesitas seperti Fajri memiliki kecenderungan tulang yang tipis.

Benarkah Kolesterol Tinggi dan Asam Urat Sebabkan Kanker Pankreas?

Hal itu disebabkan kondisi hipoaktif atau jarang serta tidak sama sekali melakukan aktivitas.

Pria obesitas di Tangerang, Muhammad Fajri (27)

Photo :
  • Instagram @lambe_turah
Jam Tidur Terbalik Bisa Picu Penyakit Serius! Begini Cara Kembali ke Pola Tidur Normal

"Hipoaktif itu nggak ngapa-ngapain, bukan karena males tapi selain karena bobotnya berat juga, mungkin dia susah untuk macam-macam untuk seperti orang normal. Nggak ngapa-ngapain bikin tulang semakin keropos juga," ujarnya dalam peresmian NAEOTOM Alpha, di RS Abdi Waluyo, Jakarta, baru-baru ini.

Kondisi hipoaktif pada kasus Fajri ini memungkinkan terjadi karena beban tubuh yang terlalu berlebihan pada pasien obesitas.

Pada kasus obesitas ini, sejumlah kondisi penyakit juga memicu gangguan metabolisme tubuh sehingga membuat tulang akhirnya merasa tak perlu memperkuat diri.

Pria obesitas di Tangerang, Muhammad Fajri (27)

Photo :
  • TikTok @viral.dongs

"Membuat merasa ngapain saya memperkuat tulang, kan nggak ngapa-ngapain juga sehari-hari, sehingga biasanya orang obesitas itu biasanya tulangnya lebih tipis dan lebih keropos. Akibatnya mudah patah, mudah terkena berbagai macam hal, paling gampang mudah patah sih ya," imbuh dokter Marcel.

Ada pun kondisi patah tulang ini dapat disebabkan berbagai hal.

Selain tubuh obesitas, patah tulang berisiko terjadi akibat kecelakaan yang tak disengaja.

Sayangnya, patah tulang kerap dianggap hal biasa yang membuat banyak orang memilih mengobati dengan pijat sebagai pengobatan alternatif.

Muhammad Fajri, pria berbobot 300 Kg.

Photo :
  • VIVA/Sherly

"Kalau patahnya tidak jauh, bisa nyambung sendiri jadi paling cuma di-gips saja supaya tulangnya nyambung sesuai dengan seharusnya. Kalau patah tulangnya jauh atau sampai keluar gitu, ya harus ke dokter," kata dokter Marcel.

Pola pikir masyarakat tersebut cenderung membuat kondisi tulang menjadi lebih parah karena risiko patah tulang turut dapat memicu masalah di otot.

Untuk itu, dokter mengingatkan agar kondisi patah tulang tak disepelekan, apalagi pada pasien obesitas.

"Kalau patah tulang, ada baiknya harus ke dokter dulu. Ini ototnya saja atau tulangnya juga yang kena, atau bagaimana. Jadi cari tahu dulu kondisinya bagaimana, baru diobati," pungkas dokter Marcel.

Pengobatan pada patah tulang sendiri dibutuhkan diagnosis yang tepat, termasuk melalui photon-counting CT seperti NAEOTOM Alpha di RS Abdi Waluyo.

Alat ini diberikan dengan tujuan untuk mengoptimalkan proses diagnosa dan pengobatan bagi pasien di Indonesia.

Dengan tambahan teknologi tingkat tinggi seperti yang sudah ada sebelumnya, kini RS Abdi Waluyo akan dapat lebih meningkatkan performa klinis untuk pasien dengan dukungan teknologi pencitraan diagnostik NAEOTOM Alpha.

NAEOTOM Alpha menggunakan teknik pencitraan canggih yang menghasilkan gambar jernih dan resolusi yang sangat tinggi.

Hal ini memungkinkan dokter untuk mendeteksi anomali atau keganjilan yang paling kecil sekalipun, yang mengarah ke diagnosis yang lebih akurat dan tepat waktu.

Pasien dapat memperoleh manfaat dari deteksi dini, yang seringkali membantu menuju hasil pengobatan dan kualitas hidup yang lebih baik.

“Dengan NAEOTOM Alpha, selain menemukan penyakitnya, sebagai ahli radiologi kami juga dapat mengkarakterisasi penyakit sehingga membantu diagnosa yang tepat, perawatan yang paling sesuai, dan hasil klinis yang lebih baik untuk pasien,” tandasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya