Ironi Pemenuhan Gizi Anak di Ibukota, Stunting dan Gizi Buruk Masih Menghantui
- Pixabay/ joffi
JAKARTA – Kota Jakarta, sebagai ibukota dan berada dekat dengan pusat pemerintahan, seharusnya menjadi contoh keberhasilan peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat. Namun kenyataannya, gizi buruk masih menjadi hantu yang membayangi sebagian balita di ibukota.
Prevalensi stunting di ibukota berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, masih berada di kisaran 14,8 persen. Sebagaimana diketahui, stunting sering dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan pada September 2022, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta berada pada angka 502.040 jiwa. Jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak 7,11 ribu jiwa atau 1,44 persen selama periode Maret-September 2022. Scroll untuk informasi selengkapnya.
Meski terjadi penurunan tingkat kemiskinan, kenyataannya problem gizi dan kesehatan anak masih terus bermunculan. Karena itu, bila dirunut dari kasus-kasus stunting dan kesehatan anak khususnya yang dialami oleh masyarakat di wilayah marjinal dan padat penduduk, sebagian besar faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan orangtua tentang asupan gizi untuk anak serta gaya hidup dan kebiasaan makan keluarga yang keliru.
Yuli Supriati, Ketua Bidang Advokasi YAICI menuturkan selama balita kenyang dan tidak rewel bagi sebagian orangtua dianggap sudah cukup.
"Masih lumrah di masyarakat kita anggapan anak sehat itu adalah anak sudah makan, kenyang, tidak rewel. Sementara yang memerhatikan apakah anak sudah mendapat protein hewani yang cukup, vitamin dan kalsium dan zat-zat gizi lainnya masih jarang,” jelas Yuli saat di temui di Posyandu di Kali Angke, Jakarta Barat.
Yuli yang saat itu sedang mendampingi kader Aisyiyah yang melakukan survei tentang asupan gizi balita menuturkan, pada umumnya orangtua melakukan praktik pengasuhan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang juga dilakukan orangtuanya di masa lalu.
“Rata-rata yang kami temui adalah pengasuhan anak itu diturunkan. Jadi ibu-ibu muda saat ini, melakukan pengasuhan anak berdasarkan apa yang dilakukan orangtuanya dulu. Jadi, meskipun mereka rajin ke Posyandu, di edukasi oleh kader tentang apa yang baik dan tidak baik untuk anak, tapi begitu kembali ke rumah, pengetahuan tersebut diabaikan,” beber Yuli.
Di antara temuan-temuan kebiasaan yang salah yang masih dilakukan orangtua dalam praktik pengasuhan anak adalah kebiasaan konsumsi susu.
"Kita tahu susu baik untuk anak karena mengandung protein hewani yang dibutuhkan oleh anak. Tapi masih banyak yang tidak paham mengenai ini, jadi masyarakat hanya beranggapan minum susu itu penting, tapi tidak paham. Akibatnya, masih banyak yang memberikan anaknya kental manis, yang penting anaknya minum susu,” jelas Yuli.
Vina (28 tahun) salah satu ibu muda yang ditemui Yuli mengaku anaknya yang berusia 1 tahun 9 bulan, baru saja keluar dari ruang perawatan intensif (NICU) di rumah sakit. Ia mengaku baru saja dimarahi dokter di rumah sakit karena memberikan kental manis untuk minuman susu anaknya.
“Ini baru pulang dari rumah sakit. Badannya lemas dan berat badannya terus menurun. Pas dokter tanya anak saya minum susunya apa, saya jawab dikasih kental manis. Habis itu saya langsung dimarahi,” ujar Vina.
Tak berbeda jauh dengan Vina, Syifa (32 tahun) pun anaknya memiliki kondisi yang serupa. Anaknya yang berusia 1 tahun 7 bulan saat ini sulit berjalan. Di awal wawancara, Syifa tidak mengaku anaknya diberi kental manis. Namun dalam perbincangan lebih lanjut, Syifa mengakui anaknya sehari-hari mengonsumsi kental manis.
"Kan di iklan-iklan katanya susu,” jelas Syifa.
Kasi Kesra Kelurahan Kedaung Kali Angke, Zakir menyatakan keprihatinannya dengan kasus-kasus gizi buruk yang dialami banyak balita di daerahnya.
"Di awal saya ditugaskan di sini, sekitar 2 tahun lalu, itu banyak saya lihat balita-balita yang kurang gizi yang orangtuanya sendiri nggak paham. Karena selama ini mereka melihat anaknya makan, tapi begitu ditanya makannya apa ternyata jajanan-jajanan yang nggak bergizi sama sekali," jelas Zakir.
"Ya itu tadi, kita ngasuh anak mengikuti bagaimana orangtua dulu mengasuh kita. Termasuk pemberian kental manis, dulu iklannya susu, sekarang sudah tidak ada iklannya tapi masih diberikan untuk anak," sambungnya.
Karena itu, guna mengatasi permasalahan gizi buruk dan stunting, ia bersama jajarannya melakukan berbagai upaya agar masyarakat lebih sadar bahaya gizi buruk.
"Yang paling efektif adalah kita optimalkan posyandu. Agar masyarakatnya pintar kader Posyandunya juga harus pintar. Jadi kita fokus dulu ke pembenahan Posyandu dan pembekalan kader,” pungkas Zakir.