Cuaca Panas Ekstrem Picu Kanker Kulit, Ini Saran Dokter untuk Menghindarinya

Ilustrasi cuaca panas
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle – Cuaca ekstrem yang sangat panas memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, salah satunya kulit. Sebagai lapisan paling luar dari tubuh, kulit menjadi bagian yang paling rentan terkena radiasi sinar ultraviolet (UV) dari matahari.

10 Wilayah Sulsel Dilanda Banjir, Kota Makassar-Barru Paling Parah

Berdasarkan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UV index yang berada di antara satu sampai lima masih dianggap aman untuk kesehatan. Sementara enam hingga sepuluh seperti saat ini perlu dikhawatirkan, karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan khususnya pada kulit. Yuk, scroll untuk info selengkapnya.

Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dari Rumah Sakit Pondok Indah, Benny Nelson menjelaskan, radiasi sinar UV dari matahari di tengah cuaca ekstrem dapat mengganggu kesehatan kulit.

Tiga Bandara Ini Dalam Pantauan Khusus AirNav Buntut Cuaca Ekstrem saat Nataru

"Ultraviolet A (UVA) dan ultraviolet B (UVB) cenderung berbahaya untuk kita di cuaca ekstrem seperti sekarang. Gampangnya itu, ultraviolet A (UVA) menyebabkan penuaan (aging), sedangkan ultraviolet B (UVB) menyebabkan kulit terbakar. Jadi, A untuk aging dan B untuk burn (terbakar)," jelas dokter Benny, dalam keterangannya, dikutip Selasa 6 Juni 2023. 

Pj Gubernur Jakarta Akan Libatkan TNI AU untuk Kirim Bantuan Logistik ke Kepulauan Seribu

Lebih lanjut dokter Benny menjelaskan, penetrasi UV A yang lebih dalam membuat kulit lebih tua atau mengalami penuaan dini. Sementara UV B penetrasinya hanya sampai di bagian luar atau epidermis yang membuat kulit kering, gatal atau terbakar. Hanya saja, keduanya dapat menyebabkan kanker kulit

"Tapi UV A dan UV B itu dapat menyebabkan kanker kulit, sehingga sangat berbahaya di tengah cuaca ekstrem ini,” ujarnya.

Tak hanya itu, radiasi sinar UV A dan UV B juga dapat menyebabkan gangguan pada kulit anak, seperti biang keringat. Kemudian penderita eksim dan kulit sensitif juga harus selalu waspada terhadap cuaca panas ekstrem di Indonesia. 

"Beberapa orangtua juga mengeluhkan anak-anaknya mengalami gejala miliaria atau heat rash atau nama lainnya biang keringat. Kemarin saat cuaca belum terlalu panas mungkin biang keringatnya belum muncul. Biang keringat itu disebabkan kelenjar keringat yang aktivitasnya tinggi, tapi tidak dapat keluar sehingga menyebabkan gatal,” jelas dokter Benny.

“Pasien yang memiliki riwayat penyakit eksim atau punya jerawat pada cuaca ekstrim ini juga jadi eksaserbasi. Eksaserbasi itu maksudnya apa? Yang kemarin-kemarin terkontrol tidak keluar jerawatnya, tidak keluar eksimnya tiba-tiba keluar lagi bahkan lebih parah dari sebelumnya,” sambungnya. 

Ilustrasi

Photo :
  • 1385116

Kemudian melasma atau flek, menurut dokter Benny juga cukup sering dikeluhkan. Tetapi yang paling penting, kanker kulit yang paling wajib kita khawatirkan. Sebab, penyakit lain relatif lebih mudah diatasi, sedangkan kanker kulit lebih berbahaya karena mematikan. 

Dokter Benny juga menjelaskan, orang-orang yang tinggal di daerah sejuk dan tidak banyak pajanan sinar matahari justru memiliki risiko lebih tinggi terkena radiasi sinar UV. 

"Orang-orang di daerah luar Jakarta yang mungkin masih agak adem tempatnya karena ultraviolet ini tidak menimbulkan rasa panas atau hangat, yang kita rasakan hangat atau panas itu karena infrared. Nah, UVA dan UVB ini tidak membawa rasa panas, kalau kita di luar Jakarta mungkin suhunya agak rendah tapi ultravioletnya masih tinggi. Kadang orang itu merasa dingin, sejuk, sehingga tidak butuh proteksi seperti sunscreen atau topi. Padahal UV-nya terpapar terus dan itu yang berbahaya,” bebernya.

Lebih dalam, Benny juga mengatakan, ada waktu-waktu tertentu yang dapat dihindari jika tidak ingin terkena radiasi sinar UV ketika berkegiatan di luar rumah.

"Secara umum, pukul 10 pagi hingga empat sore merupakan waktu dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, tetapi jika ingin lebih yakin lagi, sebaiknya melihat UV indexnya dulu di aplikasi- aplikasi UV index yang sekarang sudah banyak dan mudah kita dapatkan,” jelas dia.

"Harus dilihat dari UV index tersebut sebenarnya, begitu sudah menunjukkan angka 8, 9, atau 10 sebaiknya jangan keluar apalagi tanpa proteksi apapun. Karena, dengan UV index 8, 9, 10 itu paling lama kita boleh berada di luar selama 10 atau 15 menit, itu pun dengan proteksi. Jika tanpa proteksi mungkin hanya 1-2 menit untuk menghindari kulit terbakar atau gangguan kulit lainnya,” imbuhnya. 

Ilustrasi

Photo :
  • 619245

Selain perihal waktu, sinar UV juga dapat memancarkan radiasi ke semua tempat termasuk gedung yang sudah dilapisi dengan kaca film.

"Perlu diperhatikan pegawai-pegawai kantoran yang duduk di samping jendela kantor merasa adem dan aman sudah memakai kaca film yang sudah ditempel gitu, sebenarnya itu hanya bisa mem-block atau menghalangi 80 sampai 90 persen sinar UV, sisanya 10 persen masih bisa menembus kaca. Makanya, pasien yang kerja di kantoran sering mengeluh kulitnya kusam padahal kerja di ruang tertutup,” kata dia.

Padahal, Benny menjelaskan, biasanya hal itu disebabkan oleh tidak adanya proteksi seperti penggunaan sunscreen dan sunblock selama di dalam ruangan.

"Setelah dicek, pasien akan bilang kalau mereka tidak menggunakan sunscreen atau sunblock selama di dalam ruangan karena merasa tidak ada panas matahari. Re-apply sunscreen atau sunblock di dalam ruangan itu juga penting karena sinar UV masih tetap masuk,” lanjutnya.

Untuk menghindari adanya radiasi sinar UV, khususnya di cuaca panas ekstrem seperti saat ini, dokter Benny menyarankan untuk menghindari kegiatan di luar rumah. Namun, jika hal tersebut tidak memungkinkan sebaiknya menggunakan proteksi yang aman untuk kulit.

"Kalau bisa tidak terpajan, lebih baik tidak terpajan itu yang penting poinnya. Kemudian kalau memang harus terpajan, berarti kita harus memakai proteksi yang terbagi dua jenis, yaitu fisik maupun kimia,” jelasnya.

Ilustrasi

Photo :
  • 619548

"Kalau proteksi fisik sudah jelas, seperti penggunaan topi, kacamata, pakaian, masker itu penting dan kalau bisa pakaian yang kita gunakan memiliki UV filter karena radiasi ultraviolet tidak kasat mata. Sedangkan proteksi kimia kita berikan pada area yang tidak bisa benar-benar tertutup, seperti daerah dahi atau wajah itu bisa dilindungi dengan proteksi kimia yaitu sunscreen atau sunblock,” tambah dia. 

Meskipun penyakit atau gangguan kulit dapat menyerang banyak orang, tetapi masih banyak orang yang belum perhatian terhadap kesehatan kulitnya.

"Penyakit kulit itu salah satu yang sering diabaikan, jadi kalau tidak sakit sekali atau kondisinya memprihatinkan tidak akan ke dokter. Selain itu, keluhan kulit itu serupa tapi tak sama, sehingga menjadi tantangan untuk saya sendiri,” tuturnya. 

“Ekspektasi pasien yang melakukan perawatan kulit pun biasanya sangat tinggi, misalnya bekas jerawat ingin hilang sempurna dan kembali seperti semula dengan cepat. Nah, itu agak susah, karena pasti semua perawatan itu butuh proses,” lanjut dia.

Tak hanya menceritakan pengalaman mengenai pasien, dokter yang mendapat predikat cumlaude dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga memiliki harapan bahwa ke depan, Indonesia dapat memiliki skin center sendiri yang menjadi kiblat ilmu kesehatan kulit di dunia.

"Negara Indonesia ini kan dari Sabang sampai Merauke yang memiliki 6 jenis warna kulit dengan karakteristiknya masing-masing, sedangkan Korea yang selama ini jadi kiblat kecantikan hanya punya dua. Nah, itulah kenapa saya berharap Indonesia juga punya skin center dan menjadi kiblat dunia seperti Korea,” harap dokter Benny.

Dokter Benny Nelson sendiri merupakan spesialis kulit dan kelamin di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sejak pendidikan dokter hingga meraih gelar spesialis kulit dan kelamin. 

Selama menjalani pendidikan sebagai dokter umum dan dokter spesialis, ayah dari 2 orang anak kembar ini sudah berhasil menerbitkan berbagai jurnal internasional di bidang kedokteran khususnya bidang kulit dan kelamin. Selain itu, dokter Benny juga berhasil menerima beasiswa dari Publikasi Internasional Terindeks untuk Tugas Akhir (PITTA) dari Universitas Indonesia dan menjadi lima besar lulusan terbaik di Universitas Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya