Suka Pamer Harta di Medsos, Pakar Ingatkan Ciri Gangguan Mental
- Freepik/rawpixel.com
VIVA Lifestyle – Tak sedikit konten di media sosial yang menunjukkan seseorang tengah berlibur atau membeli sesuatu dengan menghabiskan biaya besar demi tujuan healing atau self reward. Meski awalnya berniat baik, namun lambat laun momen-momen itu diunggah ke media sosial dengan tujuan memamerkannya pada orang lain tanpa disadari.
Media sosial kini menjadi wadah yang berbeda dari fungsi awalnya. Jika dulu media sosial sekadar mendekatkan teman yang jauh dan melihat kabarnya, saat ini media sosial justru jadi ajang memamerkan kekayaan yang rupanya menjadi tanda gangguan mental yang tak disadari banyak orang. Yuk, scroll untuk info selengkapnya.
"Indonesia sedang menghadapi darurat kesehatan mental. Akhir-akhir ini, banyak terjadi flexing, bullying, kekerasan yang dilakukan banyak kalangan,” ujar Ketua Wanita Indonesia Keren (WIK) Maria Ekowati, dalam media briefing Pentingnya Kesehatan Mental untuk Mencegah Bullying dan Flexing, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Maria yang juga berlatar belakang pendidikan psikologi ini mengatakan bahwa memamerkan kekayaan atau pencapaian merupakan bentuk flexing. Dituturkan Maria, flexing sendiri kini jadi suatu fenomena mental disorder yang harus dianggap serius karena merusak masa depan anak muda.
"Kalau seperti 'aku baru punya cincin baru nih', itu masih flexing yang wajar. Flexing yang berlebihan ini yang dikhawatirkan, yang membuat kesehatan mental terganggu," kata Maria.
Selama ini, penanganan kesehatan mental lebih dominan pada tahap kuratif, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), belum dimulai dari pencegahan atau preventif. Ia merujuk pada sejumlah penelitian, salah satunya survei yang dikeluarkan Indonesia-National Adolescent tahun 2022.
Survei itu menyebut, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki satu masalah kesehatan mental. Data yang sama menyebut, satu dari 20 remaja memiliki satu gangguan mental. Gangguan cemas paling banyak dialami remaja, tidak ada pengaruh jenis kelamin maupun usia.
Data-data itu, menurut Maria, sangat memprihatinkan dan harus segera mendapat penanganan serius dari pemerintah. Data statistik itu menjadi penanda bahwa Indonesia sedang berada dalam darurat kesehatan mental. Oleh karena itu, penanganan kesehatan mental harus dilakukan hingga ke tingkat komunitas.
"Kalau masyarakat mengalami gangguan kesehatan fisik, mereka sudah tahu harus menuju ke mana, tidak demikian bila mereka merasakan gangguan emosi berkelanjutan sebagai indikator kesehatan mental," ujar Maria.
Layanan kesehatan mental, idealnya kata Maria, menjadi satu dengan layanan kesehatan fisik dan tidak dipisahkan seperti saat ini dengan adanya rumah sakit jiwa. Harus ada desain layanan kesehatan mental di rumah sakit umum dan rumah sakit daerah baik milik pemerintah atau swasta.
"Demikian juga sampai ke Puskesmas dan Posyandu," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Health Collaborative Center Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK menjelaskan bahwa sikap flexing pada dasarnya dapat dicegah sejak dini dengan memberi edukasi pada anak soal 'kesetaraan'. Ya, edukasi ini nampak tak penting namun imbasnya membuat anak melakukan sikap membedakan strata sosial.
Akibatnya, anak dapat menjadi pelaku atau korban bully di sosial. Hal ini didasari edukasi minim terkait kesetaraan bahwa manusia yang ada di bumi memiliki latar belakang berbeda, namun harus diperlakukan dengan cara yang sama.
"Anak-anak hingga 17 tahun ini sebenarnya konsep ekonomi, konsep sosial ini abstrak untuk mereka. Perlu diperkenalkan nggak? Perlu, tapi tidak dalam konsep strata," kata dr. Ray, di kesempatan yang sama.
Maka, dokter Ray menganjurkan agar orangtua tak lagi memberi edukasi terkait konsep strata, melainkan kesetaraan. Dengan konsep strata, dikhawatirkan anak mengalami masalah kesehatan mental yang mana terbentuk sejak kecil.
Dalam artian, dokter Ray menganjurkan anak memahami kesetaraan melalui perkenalan kekerabatan sejak dini. Tak hanya itu, dari sisi gender pun kesetaraan laki-laki dan perempuan untuk memiliki hak sama dalam proses tumbuh kembang juga patut dilakukan.
"Jangan ajarkan konsep seperti ‘oh dia orang kaya, saya orang miskin.’ Memperkenalkan itu jangan memperkenalkan pekerjaan dengan (menyatakan) gajinya berapa. Tidak mengenalkan strata, tapi mengenalkan kekerabatan," beber dr. Ray.