Miris! Banyak Masyarakat Lebih Pilih Beli Rokok Ketimbang Bahan Pangan Bergizi, Akibatnya Stunting
- Pixabay.
VIVA Lifestyle – Konsumsi rokok bagi masyarakat Indonesia sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah tanpa memandang perekonomian rumah tangga. Mirisnya, dampak paling fatal akibat beban ekonomi dari konsumsi rokok ini yakni gizi anak yang rentan alami stunting.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tercatat bahwa masyarakat Indonesia tak segan memilih untuk membeli rokok dibanding bahan pangan bergizi. Tentunya, kondisi ini menjadi hal yang berbahaya bagi anak yang seharusnya mendapat asupan bergizi untuk masa tumbuh kembangnya. Scroll untuk info selengkapnya.
Dipaparkan Ketua Kelompok Kerja Bidang Rokok PDPI, Feni Fitriani Taufik, bahwa pembelanjaan masyarakat Indonesia dengan penghasilan menengah dan rendah memilih membeli beras di urutan paling pertama. Mirisnya, urutan kedua pembelanjaan rumah tangga ditempati oleh pembelian rokok.
"Konsumsi rokok di Indonesia ini jadi beban ekonomi. Kalau kita lihat dari data pemerintah, pembelanjaan menduduki peringkat kedua. Yang pertama untuk pangan 19 persen dan 11 persennya untuk rokok," ujar Feni dalam Konferensi Pers Virtual Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia bersama PDIP dan IDI, beberapa waktu lalu.
Feni menyebutkan bahwa rumah tangga berpenghasilan menengah dan rendah dengan mengutamakan beli rokok di urutan kedua ini berarti mengabaikan pembelian makanan bergizi untuk anak. Dampaknya secara tidak langsung ini memicu tingginya angka stunting yang rentan mengintai anak.
"Kalau kita kaitkan ini, permasalahan ini berhubungan dengan stunting," tambah Feni.
Senada, Komnas Pengendalian Tembakau Indonesia, Tubagus Haryo Karbiyanto, menyetujui kaitan signifikan antara stunting dan anggota keluarga perokok.
“Dari beberapa riset yang dilakukan oleh teman-teman akademisi, ada korelasi yang sangat signifikan antara anak-anak yang mengalami stunting. Anak-anak itu ada di dalam keluarga yang ada perokoknya," tambah Tubagus.
Terbukti, angka stunting pada anak dengan keluarga perokok sebesar 15,5 persen lebih tinggi dibanding anak dari keluarga yang tidak merokok. Seharusnya, konsumsi gizi anak lah yang patut dipikirkan oleh anggota keluarga dibanding membeli rokok.
"Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pola belanja kedua adalah rokok. Lebih spesifik lagi rokok kretek filter. Ini sebenarnya yang masih menjadi pergumulan. Jadi, kalau kita mau merevitalisasi pola belanja, seharusnya konsumsi rokok ada di bawah," jelas Tubagus.
Lebih dalam, Tubagus merinci bahwa angka pembelian beras tetap di urutan pertama untuk pemenuhan kebutuhan gizi keluarga. Sayangnya, sumber makanan lainnya seperti telur dan daging yang mengandung gizi tinggi justru terabaikan dibanding pembelian rokok.
"Makanan kita bukan hanya beras, tetapi ada protein, telur, daging, dan lain-lain. Seharusnya konsumsi rokok itu ada di lebih bawah lagi," pungkasnya.