Permasalahan Stunting Tak Kunjung Usai, IDI: Bukan Masalah Pemerintah Saja

Ilustrasi bayi menangis.
Sumber :
  • Pixabay/ joffi

VIVA Lifestyle – Berdasarkan hasil survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 21,6 persen dengan target turun menjadi 14 persen di tahun 2024. 

Kenali Penyebab Gangguan Menstruasi, IDI Ciamis Berikan Informasi Pengobatan

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr. dr. Moh Adib Khumaidi, Sp. OT, mendorong adanya kolaborasi lintas sektor untuk mendukung penguatan sistem kesehatan dalam menanggulangi stunting, sejalan dengan Perpres 72 tahun 2021. Scroll untuk info selengkapnya.

“Stunting adalah salah satu permasalahan kesehatan yang belum selesai. Permasalahan stunting bukanlah permasalahan pemerintah saja. Keterlibatan lintas sektor perlu dilakukan untuk penanggulangan secara kolaboratif," ujarnya saat sesi diskusi bertajuk “Apa yang perlu diketahui dokter umum tentang stunting?” sekaligus penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Danone SN Indonesia dan PB IDI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, belum lama ini. 

Cegah Osteoporosis Sejak Dini, IDI Bogor Bagikan Informasi Pengobatan

"Hal tersebut menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan. Perlu peran dari organisasi profesi, LSM, NGO, termasuk pihak swasta, tentunya sangat dibutuhkan dalam satu upaya kolaborasi, untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia,” sambungnya. 

Cegah Serangan Jantung Sejak Dini, IDI Kota Bekasi Berikan Informasi Pengobatan

VP General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh, mengungkapkan, jika berbicara tentang stunting, tidak hanya tentang nutrisi, tetapi juga akses air bersih dan sanitasi sangat berpengaruh. 

“Manusia akan sehat jika nutrisi dan asupannya baik, juga manusia akan sehat jika lingkungannya sehat. Program inilah yang kami coba majukan bersama dengan mitra, tentunya dengan IDI, untuk bisa menyasar permasalahan nutrisi juga hidrasi yang sehat, akses air, sanitasi, pengelolaan lingkungan juga sampah," jelasnya. 

"Mudah-mudahan dengan apa yang kami lakukan dan terus tingkatkan, dapat mendukung program pemerintah, prioritas nasional untuk akselerasi penurunan angka stunting hingga 14 persen di tahun 2024,” imbuh Vera Galuh. 

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal PB IDI, Dr. Ulul Albab, Sp.OG, mengatakan, penanganan stunting tidak bisa dilakukan oleh satu pihak, seperti mengatasi penyakit lain, namun dibutuhkan pendekatan multisektoral. 

"Stunting erat sekali kaitannya dengan kehamilan hingga 1000 hari pertama kehidupan, bahkan lebih hulu lagi, bagaimana persiapan kehamilan. Kolaborasi ini menjadi kolaborasi yang penting, karena hasil penanganan stunting tidak hanya bisa dinilai dalam satu sampai dua tahun, tetapi dalam pola yang panjang. Sehingga kami berharap program ini terus dilakukan dalam jangka panjang," tuturnya. 

Ilustrasi stunting

Photo :
  • Direktorat P2PTM Kemenkes

Prinsip pencegahan stunting dibagi menjadi tiga, pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer dapat dilakukan oleh orang terdekat seperti keluarga dan kader posyandu dengan menjaga gizi seimbang serta melakukan deteksi dini malnutrisi. 

Pencegahan sekunder dilakukan dokter umum (puskesmas) dengan deteksi dini penyakit dan tata laksana segera, serta diberikan terapi nutrisi Pangan Olahan untuk Diet Khusus (PDK). Kemudian, pencegahan tersier dilakukan oleh dokter spesialis anak (RSUD) lalu ditatalaksana sesuai indikasi. Angka stunting ini bisa diturunkan atas usaha dimulai dari dokter keluarga, kader posyandu, puskesmas hingga dokter spesialis anak.

“Kami Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam program Aksi Cegah Stunting sudah melakukan kerjasama dengan Danone sejak tahun 2021, dengan melakukan studi di 13 kabupaten di seluruh Indonesia dengan hasil yang bagus yakni melalui penerapan sistem rujukan untuk penanganan stunting," kata Dokter Spesialis Anak, Dr. Arief Budiarto, Sp.A. 

"Di sisi lain kami menyadari di Indonesia, kita tidak perlu muluk-muluk dalam mencukupi kebutuhan protein hewani untuk anak, kita bisa dengan mudah menemukan sumber protein seperti ikan patin, telur, dan sebagainya. Lalu, intervensi pemberian PKGK atau pangan olahan berbasis untuk anak berkebutuhan khusus juga perlu diberikan sesuai dengan PERMENKES 29 tahun 2019 yang menjadi dasar kami," tutup Dr. Arief Budiarto.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya