Kasus Penyakit Mematikan Naik Terus, Kemenkes: Konsumsi GGL Orang Indonesia Melebihi Batas Wajar

Ilustrasi serangan jantung/stroke.
Sumber :
  • Freepik/rawpixel.com

VIVA Lifestyle – Gaya hidup serba instan meningkatkan risiko penyakit berbahaya. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, tren kasus penyakit hipertensi, kanker, stroke, diabetes melitus dan ginjal kronis terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Perut Buncit Mengganggu? Coba 5 Minuman Ini untuk Hasil Maksimal!

Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes, prevalensi penyakit kardiovaskular seperti hipertensi meningkat dari 25,8 persen (2013) menjadi 34,1 persen (2018). Scroll untuk informasi selengkapnya.

Sementara, diabetes melitus (DM) meningkat dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen, di mana prevalensi penyakit DM menurut diagnosa dokter meningkat dari 1,2 menjadi 2 persen, penyakit gagal ginjal kronis, dari 0,2 (2013) menjadi 0,38 persen (2018). 

Jadi Biang Kerok Banyak Penyakit, Begini Trik Kurangi Penggunaan Garam pada Masakan

Kenaikan tren penyakit mematikan ini juga berdampak terhadap kenaikan pengeluaran pembiayaan penyakit yang dikeluarkan pemerintah. Data BPJS Kesehatan pada tahun 2022 memperlihatkan, terjadi peningkatan jumlah pembiayaan penyakit berbahaya yang memakan anggaran hingga Rp24,06 triliun. 

Tidak Makan Sebelum Olahraga Bisa Bakar Lemak Lebih Banyak? Begini Jawaban dr Tirta

Penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal, merupakan empat penyakit teratas yang menghabiskan biaya BPJS Kesehatan di tahun 2022 lalu.

Konsumsi tinggi gula, garam, lemak (GGL) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kenaikan angka penyakit tidak menular (PTM). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, konsumsi garam yang berlebihan dapat meningkatkan risiko kematian akibat jantung dan stroke. 

Demikian pula dengan konsumsi gula yang berlebihan berkontribusi pada kelebihan berat badan dan obesitas serta dapat menyebabkan penyakit diabetes. Sedangkan konsumsi lemak trans meningkatkan risiko penyakit jantung dan kematian.

WHO merekomendasikan sejumlah hal untuk pengendalian konsumsi GGL di Indonesia. Berikut di antaranya:

- Perubahan regulasi atau kebijakan untuk mengatur kandungan dan konsumsi GGL. 
- Menerapkan labeling pada setiap produk makanan dan minuman yang mengandung GGL. 
- Reformulasi produk makanan dan minuman. 
- Melakukan edukasi untuk mengubah perilaku dan kampanye media massa. 
- Menyediakan lebih banyak ketersediaan makanan dan minuman dengan kandungan GGL rendah di lingkungan sekolah, tempat kerja, supermarket, restoran, dan ruang publik lainnya.
- Menetapkan kebijakan fiskal pada makanan dan minuman untuk mengurangi konsumsi GGL yang berlebihan.

Ilustrasi garam.

Photo :
  • Pixabay/kaboompics

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Dr. Eva Susanti, S.Kp, M.Kes, menyatakan, strategi pengendalian konsumsi GGL membutuhkan kerja sama seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunitas masyarakat muda dan pihak swasta atau industri pangan. 

"Catatan Kemenkes, sebanyak 28,7 persen masyarakat melebihi batas konsumsi GGL yang dianjurkan. Secara rinci, konsumsi garam masyarakat Indonesia menjadi yang paling mengkhawatirkan yakni sebanyak 53,5 persen populasi mengonsumsi garam lebih besar dari batas wajar 2.000 miligram per hari," ungkap Dr. Eva dalam keterangannya, dikutip Jumat 12 Mei 2023. 

"Sedangkan populasi masyarakat yang mengonsumsi lemak melampaui batas aman 67 gram per hari sebesar 24,24 persen. Kemudian sebanyak 5,5 persen masyarakat tercatat mengonsumsi gula lebih besar dari rekomendasi harian 50 gram," sambung dia. 

Demi meredam kenaikan risiko penyakit mematikan, Direktorat P2PTM Kemenkes menggandeng Health Heroes sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam Rapat Koordinasi Lintas Sektor Strategi Pelaksanaan Permenkes 30/2013 tentang Informasi Kandungan Gula Garam Lemak dan Pesan Kesehatan pada Pangan Olahan dan Siap Saji. 

Acara yang berlangsung di Jakarta pada 10-11 Mei 2023 lalu ini, merupakan upaya Kemenkes untuk mendukung pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak pada kaum muda produktif di Indonesia. 

Gavra Arkananta, Health Heroes Fasilitator merekomendasikan Kemenkes untuk penggunaan pesan kesehatan secara efektif pada label produk makanan atau minuman sehingga kaum muda lebih sadar kesehatan dan risiko penyakit yang mengancam. 

"Saat ini, ukuran pesan kesehatan pada label produk sangat kecil sehingga sulit dibaca. Hampir semua remaja dan kelompok muda yang dikunjungi Health Heroes di sekolah-sekolah tidak ada yang memahami tentang Informasi Nilai Gizi (ING)," kata dia. 

"Harapannya ada langkah konkret untuk harmonisasi lintas sektor agar peraturan dapat berjalan simultan, termasuk di ranah sekolah. Keterlibatan kaum muda bisa mendorong percepatan kebijakan," tambah Dr. Rimbawan, pakar label pangan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dari sisi regulasi, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 26/2021 tentang Label Olahan Pangan telah mewajibkan pangan olahan mencantumkan Informasi Nilai Gizi dan dapat menampilkan informasi yang lebih mudah dipahami oleh konsumen dalam bentuk panduan asupan harian dengan warna monokrom dan logo “Pilihan Lebih Sehat”. 

Peraturan BPOM No.31/2018 juga mewajibkan pencantuman pesan kesehatan pada pangan olahan, namun penerapannya masih sangat minim.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya