Ribut Isu Halal-Haram Vaksin Berdampak Pada Kesehatan Anak-anak
- Freepik/wirestock
VIVA Lifestyle – Imunisasi di Indonesia sempat terkendala lantaran fasilitas kesehatan fokus untuk pengobatan pandemi COVID-19 selama nyaris tiga tahun terakhir. Terlebih, penyebab lain yang membuat vaksinasi urung dilakukan orang tua dikarenakan stigma yang muncul di masyarakat terkait isu halal-haram yang ada.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) menjelaskan bahwa stigma mengenai vaksinasi selama ini masih kerap muncul di berbagai kalangan dalam keluarga di Indonesia. Hal paling utama yang dikhawatirkan yakni stigma akan efek samping yang dinilai membahayakan kesehatan tubuh anak.
"Ketakutan efek samping. Padahal kalau diperiksa misal vaksin pentavalen, itu dari penelitian 600 anak, disuntik umur 2-4 bulan yang derita demam lebih 38 C hanya 25 persen. Demam tinggi lebih 39 C hanya 1 persen," tuturnya ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Penelitian yang dilakukan pada anak di Indonesia itu menemukan bahwa efek samping dari vaksin, memang ada. Tetapi, bukan berarti dampaknya lebih berbahaya dibanding penyakit itu sendiri. Terlebih, efek sampingnya juga tak dialami oleh seluruh anak yang menerima imunisasi.
"Jadi demam memang ada. Jadi itu efek samping kekhawatiran. Memang ada efeknya misal rewel, tapi itu istilahnya harga yang dibayar untuk dapat manfaat proteksi untuk penyakit," imbuhnya.
Stigma lainnya yang turut disorot adalah masalah haram-halal. Menurut Prof Hartono, ini merupakan isu penting karena perlu membedakan makna vaksin yang mengandung babi. Menurutnya, analogi enzim babi dalam vaksin seperti saat memanen padi yang dapat dilakukan dengan berbagai jenis alat.
Prof Hartono menyebut bahwa enzim babi dipakai di awal proses pembuatan vaksin. Namun, melewati berbagai proses maka enzim babi itu sudah benar-benar hilang sehingga tak lagi mengandung najis di produk vaksin akhir dan aman digunakan untuk anak.
"Makanya, salah satunya dengan pakai enzim babi itu. Vaksin tercemar itu udah dicuci proses filtrasi berulang-ulang sehingga saat produk akhir diperiksa DNA, itu bagian terkecil dari tubuh kita, tidak ada produk babi di akhir. Hanya bersinggungan dengan barang najis. Jadi itu yang diisukan," bebernya.Â
Analogi serupa disebutkan seperti saat manusia buang air kecil atau besar yang menyentuh najis. Namun, dengan dicuci oleh air dan sabun, maka barang najis itu dapat dihilangkan dan tubuh sudah bersih dari najis. Apalagi, MUI sudah memberi fatwa dalam pemakaian vaksin itu sendiri.
"MUI sudah mengemukakan fatwa bahwa pada keadaan darurat itu juga boleh digunakan. Istilahnya mubah," tambahnya.
Untuk vaksin anak sendiri, WHO dan UNICEF berencana memberantas dua penyakit mematikan pada anak yakni diare dan pneumoni. Kedua penyakit itu pada dasarnya memiliki vaksin yaitu PCV untuk pneumonia dan Rotavirus untuk diare.
PCV salah satu paling mahal dan dicanangkan sejak 2017. Kemenkes sudah mengejar dan pada 2022 sudah jd cakupan nasional," tambahnya.
Selain itu, vaksin lain yang sudah dicanangkan oleh Kemenkes agar mencegah penyakit kanker serviks pemicu kematian kedua pada perempuan, telah diberikan gratis oleh Kemenkes. Prof Hartanto pun menyebut bahwa vaksin HPV sepatutnya diberikan pada anak kelas 5-6 SD sebessr dua dosis untuk hasil maksimal.Â
"HPV ini vaksin paling efektif untuk cegah kanker serviks. Kanker ini merupakan penyebab kedua kematian pada wanita. Kita nggak mau anak-anak kita kena padahal Kemenkes sudah memberikan (vaksin) secara gratis. Mohon manfaatkan," jelasnya.
Prof Hartanto pun mengimbau agar orang tua selalu memantau kelengkapan imunisasi anak agar mencegah penyakit menular yang mematikan. Apalagi, PPKM sudah dilonggarkan yang memicu kerumunan terjadi sehingga penularan penyakit dapat rentan terjadi.
"Pandemi lewat, PPKM dilonggarkan, namun cakupan imunisasi masih turun. PPKM dilonggarkan di situ terjadi transmisi macam-macam. Itu faktor risiko terjangkit KLB kalau tidak lengkap imunisasi. Lengkapi dengan cek buku KIA," tandasnya.