Makanan Murah Ini Ampuh Cegah Kanker Usus, Salah Satunya Jadi Idaman saat Ramadhan
- Pexels/sora shimazaki
VIVA Lifestyle – Salah satu pemicu kanker usus besar atau kolorektal bermula dari gaya hidup yang kurang tepat, khususnya dari pola makan yang dianut seseorang. Terlebih, asupan tinggi lemak yang terlihat lezat meski tak sehat, kerap menjadi pilihan generasi kekinian sehingga memicu kondisi usus menjadi kurang sehat.
Kesehatan usus menjadi benteng utama dalam mencegah terjadinya kanker usus besar, di mana dapat diberikan melalui asupan probiotik. Ya, probiotik terbukti mampu menjaga kesehatan usus sehingga keseimbangan bakteri baik dan jahat membantu fungsi pencernaan lebih optimal. Dari asupan probiotik ini, ternyata terdapat dua jenis makanan yang murah dan mudah ditemui. Apa itu? Yuk, scroll untuk mengetahuinya.
"Kimchi-nya Korea dan Tempe kedelai," tutur Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Pusat, Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FINASIM, FACP, dalam webinar bertajuk Kenali, Pahami dan Berteman dengan Kanker Kolorektal bersama Merck Sharp & Dohme (MSD) Indonesia, beberapa waktu lalu.
Tempe sendiri sudah menjadi idaman masyarakat Indonesia, terlebih di momen Ramadhan. Pengolahan tempe juga sangat bervariasi sehingga dapat dikonsumsi saat berbuka dan sahur. Harganya yang murah dan terjangkau, membuat tempe kerap jadi pilihan.
"Fermentasi itu yang memberikan bakteri baik untuk usus kita. Jadi jangan takut makan tempe," tambahnya.
Menurut Prof Aru, 95 persen faktor risiko kanker kolorektal berasal dari lingkungan dan kebiasaan, termasuk juga jenis makanan yang masuk ke tubuh. Sayangnya, kehidupan masyarakat saat ini sarat akan makanan instan dan minim asupan probiotik. Prof Aru juga menyayangkan minimnya asupan rempah yang sebenarnya mampu mencegah risiko kanker kolorektal seperti jahe dan kunyit.
Kehidupan dengan aktivitas padat memicu masyarakat meninggalkan kebiasaan nenek moyang yang memasak dengan rempah. Terlebih, masyarakat saat ini kerap memilih makanan tinggi lemak seperti daging merah dan minuman alkohol sehingga risiko kanker kolorektal semakin tinggi. Dari pola makan ini, biasanya terjadi perubahan pola buang air besar yang patut diwaspadai munculnya kanker kolorektal tanpa sadar.
"Perubahan pola buang air besar ini yang kadang-kadang terjadi sebelum ada gejala-gejala lain," ujar Prof Aru.
Ada pun, faktor risiko kanker kolorektal terdiri dari faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah seperti berusia di atas 50 tahun, memiliki riwayat menderita polip, memiliki riwayat infeksi usus besar, memiliki riwayat polip ataupun kanker usus besar dalam keluarga, faktor genetik dan faktor ras dan etnis.
Sedangkan faktor yang dapat diubah antara lain kebiasaan konsumsi berlebih daging merah dan daging olahan, diet tidak seimbang dan kurang sehat, kurang aktivitas fisik, obesitas, konsumsi rokok dan paparan asap rokok, konsumsi alkohol berlebih, menderita gangguan pencernaan berulang dan memiliki riwayat diabetes melitus tipe 2.
Maka, Prof Aru melalui Yayasan Kanker Indonesia berharap program edukasi yang dapat memberikan gambaran dan pengertian kepada masyarakat di Indonesia mengenai kanker kolorektal. Sehingga, semakin banyak yang sadar dan melakukan deteksi dini serta lebih cepat mendapatkan penanganan yang tepat.
"Kami memberikan dukungan bagi pasien penyintas kanker kolorektal berbagi tentang pengalamannya sebagai survivor, sehingga semakin banyak masyarakat yang memahami tantangan dan solusi untuk membantu meringankan beban penyintas kanker kolorektal," tandasnya.