Puasa Aman Bagi Penyandang Anemia, Tak Dianjurkan Minuman Soda dan Kafein
- Pixabay/ PDPics
VIVA Lifestyle – Anemia adalah kondisi medis yang ditandai dengan berkurangnya kadar hemoglobin dengan tanda umum yakni kulit pucat. Makanan tertentu yang dikonsumsi dapat memicu penurunan kadar hemoglobin yang bisa membahayakan momen berpuasa sehingga patut memahami pakem-pakem saat sahur dan berbuka selama bulan Ramadhan.
Anemia yang terjadi dapat menyebabkan gejala seperti kelelahan, sakit kepala, sesak napas, kulit pucat, jantung berdebar dan hipotensi. Namun sebenarnya, puasa dapat membantu mengurangi gejala klinis anemia.
Pada dasarnya, bagi pasien anemia dengan kadar hemoglobin darah di bawah 6 gm/dl tidak boleh berpuasa. Akan tetapi, penyandang anemia yang memiliki kadar hemoglobin di atas 6 gm/dl dapat berpuasa dengan aman.
Nah, agar aman berpuasa, ada sejumlah pakem yang harus diperhatikan oleh penderita anemia saat berpuasa di bulan Ramadan. Paling utama adalah jenis minuman yang harus dihindari agar tidak menyebabkan kadar hemoglobin menurun dan memicu gejala anemia.
"Hindari minuman bersoda dan minuman berkafein karena mengganggu penyerapan zat besi di usus," tulis laman Saudi Health.
Kadar zat besi yang sulit diserap akan membuat hemoglobin tak bertambah di tubuh. Maka, penyandang anemia dapat mengonsumsi sejumlah makanan yang membantu penyerapan zat besi. Seperti sertakan kacang-kacangan, kacang-kacangan, dan sayuran berdaun hijau dalam makanan Anda karena ini adalah sumber zat besi yang baik.
Tambahkan jus lemon ke salad sayuran dan hidangan lainnya karena vitamin C dalam lemon meningkatkan penyerapan zat besi. Jangan melewatkan makan sahur karena membantu mempersiapkan tubuh Anda untuk puasa dengan menyediakan makanan kaya zat besi dan menjaga kadar hemoglobin normal.
"Konsumsi banyak makanan kaya zat besi seperti hati, daging merah, ikan, apel, terong, dan bayam. Disarankan untuk memulai makanan berbuka puasa Anda dengan kurma karena kaya akan zat besi," lanjut laman itu lagi.
Bicara soal anemia, terdapat jenis yang sudah cukup berat dan membutuhkan cuci darah sehingga tak bisa lagi berpuasa. Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir, mengatakan bahwa anemia menjadi problematika bagi pasien cuci darah, di mana terapi yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan penyuntikan EPO atau alternatif lain dengan melakukan transfusi darah.
Dokter spesialis penyakit dalam, Dr. Afiatin dr. SpPD-KGH., FINASIM mengatakan bahwa pada Pasien Ginjal Kronik (PGK) yang mengalami anemia harus diterapi dengan baik, dimana pemberian terapi Ertythropoiesis Stimulating Agent (ESA) merupakan terapi utama. Terapi ESA dapat diberikan kepada pasien dengan HB <10g/dl, penyebab lain anemia sudah disingkirkan, tidak ada anemia defisiensi besi absolut dan tidak ada infeksi berat.
"Sedangkan untuk terapi transfusi darah dapat diberikan pada kondisi tertentu, karena mempunya beberapa risiko diantaranya infeksi, kelebihan kadar besi dan kelebihan cairan, selain itu dapat menimbulkan reaksi transfusi pada beberapa pasien," tuturnya dalam webinar bersama PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) bertajuk 'Pilih EPO atau Transfusi Darah', beberapa waktu lalu.
Pemberian ESA tetap merupakan pilihan terbaik untuk terapi anemia pada PGK yang harus dilakukan secara rutin. Dengan melakukan terapi ESA tubuh dapat meningkatkan Hb yang berkelanjutan, sehingga menghasilkan sel darah merah yang dapat berfungsi secara normal dan dapat mempertahankan target Hb yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Sedangkan transfusi darah memiliki banyak risiko apabila dilakukan kepada pasien cuci darah, seperti kelebihan besi, kelebihan cairan, risiko infeksi hepatitis B, C dan HIV, dan risiko lainnya. Untuk itu disarankan sebisa mungkin hindari transfusi darah untuk mengurangi risiko efek samping.
"Etana terus berupaya melayani pasien untuk menyediakan produk biofarmasi yang berkualitas tinggi dan harga terjangkau, salah satunya melalui produk epoetin alfa yang dapat membantu pasien yang sedang menjalani hemodialisa," kata Head of Sales & Marketing PT Etana Biotechnologies Indonesia, Randy Stevian.