Miris! 4 dari 10 Anak SD di DKI Jakarta Alami Rabun Jauh, Apa Sebabnya?

Ilustrasi anak berkacamata
Sumber :
  • MiYOSMART PICT

VIVA Lifestyle – Pandemi COVID-19 memberi dampak pada berbagai sisi terkait kesehatan, termasuk mata anak. Dengan tingginya pemakaian gawai sebagai kebutuhan selama pandemi, tak pelak memberi dampak buruk terhadap kesehatan mata anak dengan memicu terjadinya miopia atau rabun jauh.

KPAI Sebut Anak-anak Rentan Jadi Objek Politik Selama Tahapan Pilkada 2024

Survei terbaru tentang kesehatan mata pada anak usia sekolah dasar (SD) di Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kasus rabun jauh pada anak SD di Jakarta mencapai 40.5 persen, atau 4 dari 10 anak SD mengalami gangguan penglihatan rabun jauh. Scroll untuk info selengkapnya.

Pimpinan Tim Pengabdian Masyarakat untuk Kesehatan Mata, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, SpM(K) menegaskan bahwa temuan ini lebih tinggi dari beberapa data survei dan studi gangguan penglihatan terutama rabun pada anak Indonesia yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun studi beberapa lembaga akademik sebelum masa pandemi.

Teguh Pastikan ASN Netral di Pilgub Jakarta

Anak pakai kacamata.

Photo :
  • iStockphoto.

“Hasil survei kami ini menunjukkan bahwa terdapat potensi masalah kesehatan dan kualitas hidup jangka panjang bagi negara, karena statistik 4 dari 10 anak SD mengalami rabun jauh menunjukkan bahwa adanya potensi besaran masalah yang serius yang berdampak langsung terhadap kualitas hidup, kegiatan belajar hingga proses tumbuh kembang anak,” ungkap Nila Moeloek yang merupakan Menteri Kesehatan RI 2014-2019 ini, dalam acara media Survei Kesehatan Mata Anak 2023, di Jakarta. 

Israel Tahan 270 Anak Palestina dengan Kondisi Memprihatinkan, Menurut Komisi Urusan Tahanan

Menurut Nila aspek lain yang diduga memiliki hubungan tingginya kasus rabun jauh pada anak ini adalah aspek penggunaan gadget selama proses belajar di masa pandemi. Bahkan di China, penelitian lain menunjukkan bahwa anak 6 tahun yang mengalami rabun jauh melonjak sebesar 21 persen saat pandemi.

"Kelainan refraksi ini masih akan mengenai anak-anak, apalagi pada saat lockdown. Karena harus dipahami bahwa penglihatan adalah salah satu modalitas penting untuk membentuk kualitas sumber daya manusia yang baik," tambah Prof Nila.

Tim peneliti juga sempat melakukan pendalaman persepsi dari data survey ini kepada beberapa guru dan orangtua. Ditemukan bahwa guru juga sering sekali menemukan murid yang harus berjuang karena kesulitan membaca tulisan di papan tulis serta melakukan modifikasi tertentu seperti memicingkan mata hingga mendekatkan buku bacaan ke arah mata, di mana hal ini tentu saja sudah merupakan gangguan serius terhadap pola belajar mengajar.

Menurut tim peneliti, intervensi koreksi dengan kacamata wajib dilakukan karena bila dibiarkan kondisi kelainan penglihatan ini akan berlanjut dan memberat. Itu sebabnya dibutuhkan intervensi serius dalam hal deteksi dini dan koreksi kacamata secara cepat. Menurut Nila, tim nya dengan dukungan dari berbagai pihak melakukan intervensi pemberian kacamata gratis bagi para murid yang terdiagnosis.

"Bahkan selain intervensi kacamata, dukungan edukasi juga wajib dilakukan, terutama untuk memastikan agar anak tetap patuh memakai kacamata dan tidak malu karena ada stigma atau potensi perundungan di sekolah," tambahnya.

ilustrasi anak sekolah

Photo :
  • Adi Suparman

Secara lengkap survey yang dilakukan oleh tim peneliti yang terdiri dari dr. Kianti Darusman, SpM, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK dan dr. Yitro Wilar MKK SpOk ini menemukan beberapa fakta lain selain tingginya prevalensi rabun jauh pada anak. Data collection dan skrining kelainan refraksi ini dilakukan di dua sekolah dasar negeri di Jakarta meliputi 269 anak SD kelas empat hingga enam, dengan rentang umur antara 9 hingga 12 tahun. 

Ditemukan bahwa hampir separuh anak SD yang menderita rabun jauh adalah anak usia 9-10 tahun. Bahkan tim peneliti juga melakukan sub analisis untuk melihat persepsi anak SD terkait gangguan penglihatan yang dialami. 

Ditemukan bahwa 54 persen siswa mengalami kesulitan membaca tulisan di papan tulis karena gangguan penglihatannya, 24 persen siswa mengalami kesulitan belajar karena kesulitan melihat dan membaca, serta 38 persen siswa mengakui sulit berolahraga karena gangguan melihat ketika beraktifitas fisik. 

Temuan ini menunjukkan bahwa dari aspek analisis penelitian Kesehatan adanya distorsi subjektif dari kondisi gangguan kesehatan yang bila dibiarkan akan berpotensi mengganggu prestasi akademik dan tentunya perkembangan fisik dan psikologis anak.

"2 dari 10 anak di SD merasa sulit belajar. 38 persen atau 4 dari 10 sulit olahraga. Padahal aktivitas fisik sangat penting untuk tumbuh kembang. Ketika ada gangguan penglihatan dan tidak bisa olahraga dampaknya bisa sangat besar," tambah dokter Ray.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya