Ahli: Belum Ada Negara yang Wajibkan Pelabelan Potensi BPA di Kemasan AMDK
- Pixabay.
VIVA Lifestyle – Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht, mengatakan, mengacu kepada hasil kajian lembaga-lembaga pengawas keamanan pangan di berbagai negara, pelabelan kemasan air minum 'Berpotensi Mengandung BPA' belum perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan menurutnya adalah analisi risiko paparan BPA (Bisphenol A) dari berbagai sumber paparan.
"Di EFSA saja (itu dilakukan) sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Mereka melakukannya sejak tahun 2007, dan sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan masih terus me-review," ujar Ahmad Sulaeman, dalam keterangannya, Rabu 15 Maret 2023. Scroll untuk info selengkapnya.
Dia mengatakan, peraturan yang ada di Indonesia mengizinkan keberadaan BPA dan zat kimia lain di dalam aneka kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan. Menurutnya, batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dalam semua jenis kemasan pangan juga telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM No.20/2019. Contohnya, BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glikol, dietilen glikol pada PET.
Menurutnya, batas maksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya. Contohnya Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), China (0,6 bpj), bahkan USA tidak ada batas spesifik migrasinya.
“Jadi, sampai saat ini sepengetahuan saya, tidak ada satupun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA pada kemasan air minum dalam kemasan,” tukasnya.
Dia juga menyampaikan bahwa pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA.
Sementara itu, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, menyatakan ketidaksepahaman yang masih terjadi antar kementerian dan lembaga terkait sehubungan dengan adanya rencana perubahan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan harus diselesaikan dalam pembahasan antar Kementerian (PAK).
“Jadi, sebelum ada kesepakatan antara kementerian dan lembaga terkait, maka perlu ditunda dulu penerbitan peraturannya. Karena, itu berarti secara substansi belum dapat disepakati K/L terkait,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa selayaknya pembentukan suatu peraturan, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, tidak diskriminatif, dan didukung dengan penelitian yang kuat. Apalagi kalau peraturannya itu akan mengikat pihak di luar institusi pembentuknya.
Karena revisi Peraturan BPOM itu sudah masuk harmonisasi, menurut Fajri, sebaiknya Kemenkumham harus memastikan dulu bahwa seluruh kementerian dan lembaga terkait sudah setuju dengan peraturan itu.
“Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian Peraturan Menteri/Kepala Lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU,” katanya.
Namun, dia mengatakan akan sangat disayangkan apabila yang mengajukan itu adalah bagian dari pemerintah juga yang menolak kehadiran peraturan itu.
“Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan,” tukasnya.