Wamenkes Dante Ungkap Wabah Difteri di Garut Dipicu Pandemi COVID-19
- ANTARA FOTO/Asep/Fathulrahman
VIVA Lifestyle – Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan bahwa wabah penyakit difteri yang statusnya kini ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Garut merupakan imbas dari kejadian pandemi COVID-19.
Hal itu terjadi lantaran program imunisasi mengalami penurunan pada anak-anak yang seharusnya mendapatkan kekebalan dari penyakit menular. Scroll untuk informasi selengkapnya.
"Dengan kondisi COVID-19, memang kita mengalami penurunan potensi untuk melakukan imunisasi pada anak. Karena orang-orang takut ke posyandu pada saat COVID-19,” ujar Dante dalam konferensi pers Rapat Kerja Kesehatan Nasional virtual, Kamis 23 Februari 2023.
Diakui Wamenkes Dante, imunisasi dasar yang seharusnya memberi kekebalan terhadap penyakit menular, dosisnya terlewatkan pada sebagian besar anak-anak. Pada masa pandemi, sistem dan tenaga kesehatan cenderung fokus pada penanganan COVID-19.
“Saat akhir COVID, KLB meningkat tapi sudah bisa kita atasi. Kita sudah melakukan distribusi vaksin-vaksin untuk imunisasi dasar, imunisasi lengkap pada bayi sehingga kasusnya menurun untuk KLB tersebut," tuturnya.
Tak heran, wabah penyakit kian bermunculan seperti KLB polio di Aceh beberapa waktu lalu. Terkini, KLB difteri ditemukan di Garut. Namun, Dante menegaskan bahwa KLB tengah diatasi dengan mengejar imunisasi.
“Jadi, difteri sudah kita atasi untuk beberapa kejadian yang ada. Mudah-mudahan kasus semakin lama semakin turun dan segera teratasi," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin telah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) difteri di Garut, Jawa Barat. Diakui Menkes Budi, risiko difteri meningkat karena keterlambatan imunisasi saat pandemi COVID-19 berlangsung selama tiga tahun terakhir.
"Difteri di Garut memang vaksinasinya kurang, gara-gara COVID-19 jadi agak berkurang," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, dikutip laman Antara.
Menkes Budi mengatakan bahwa pandemi COVID-19 telah menyita banyak hal, termasuk sistem kesehatan dan energi tenaga kesehatan untuk program imunisasi di daerah. Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah berhasil memetakan daerah yang tertinggal dalam Program Imunisasi Nasional untuk dilakukan akselerasi.
"Kita sudah identifikasi daerah mana yang imunisasinya kurang. Kejadiannya ini seperti polio. Karena pada saat COVID-19, banyak energi habis, jadi beberapa imunisasi anak ketinggalan," tambahnya.
Gencarkan ORI
Outbreak respons immunization (ORI) merupakan standard operating procedure (SOP) apabila terjadi KLB penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh imunisasi (PD3I), dalam hal ini Difteri. ORI dilaksanakan langsung bila ditemukan penderita Difteri oleh Puskesmas. Sasaran ORI adalah anak berusia usia 1-19 tahun
ORI bertujuan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat dengan menutup immunity gap sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Karena itu, ORI Difteri sebanyak tiga putaran perlu dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari bakteri corynebacterium diphteriae.
Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang dengan optimal, tanpa rasa khawatir akan ancaman kesehatan yang mengganggu masa depannya.
Hal terpenting yang perlu diingat adalah bagaimana masyarakat secara sadar dapat mencegah agar KLB Difteri ataupun KLB penyakit lain tidak perlu terjadi karena dapat dicegah dengan imunisasi. Karena satu-satunya cara mencegahnya adalah dengan penguatan program imunisasi nasional dengan mengupayakan semua anak mendapatkan imunisasi rutin dengan lengkap.
Para orangtua secara khusus perlu menyadari bahwa imunisasi ada tiga jenis, yaitu: 1) Imunisasi Dasar yang wajib dilengkapi hingga bayi usia 9 bulan; 2) Imunisasi Lanjutan yang didapatkan oleh anak berusia 18 bulan (dikenal dengan istilah booster), siswa kelas 1, 2 dan 5 SD yang dilaksanakan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS); 3) Imunisasi Tambahan seperti pekan imunisasi nasional atau ORI saat terjadi KLB.
Sejatinya, imunisasi merupakan hak anak, bukan hak orangtua. Hanya saja, anak belum dapat menyatakan keinginannya untuk memiliki kekebalan dari penyakit-penyakit berbahaya, belum dapat menyuarakan secara lantang haknya untuk sehat.
Akhirnya tinggal bagaimana kita mampu melihat imunisasi sebagai ikhtiar melindungi buah hati, melindungi masa depan generasi bangsa, agar mereka bisa tumbuh dengan baik dan meraih masa depan, karena tidak ada permasalahan kesehatan atau risiko yang membahayakan. Tanda kita menyayangi bukan dengan menjauhkan vaksinasi. Justru tanda kasih sayang adalah memberikan hak perlindungan.