Aritmia Sebabkan Kematian Mendadak, Waspada Jika Mudah Lelah

Ilustrasi serangan jantung/stroke.
Sumber :
  • Freepik/rawpixel.com

VIVA Lifestyle – Jantung merupakan organ vital yang bekerja 24 jam terus-menerus untuk memompa darah dan mendistribusikan oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh. Kemampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat guna mencukupi kebutuhan tubuh, tak lepas dari aktivitas kelistrikan jantung. 

Mengenal Air Murni, Ini Manfaat dan Kriteria Amannya

Gangguan fungsi jantung akibat aktivitas listrik jantung yang abnormal inilah yang disebut aritmia, yaitu suatu kondisi ketika detak jantung tidak teratur, lebih cepat, atau lebih lambat dari yang seharusnya. Pada kondisi istirahat, detak jantung normal berkisar antara 60 – 100 kali per menit. Scroll untuk info selengkapnya.

Keluhan yang sering dirasakan pasien dengan gangguan aritmia sangat beragam, misalnya rasa berdebar-debar, dada tidak nyaman, sesak napas, cepat lelah atau keliyengan atau sempoyongan. Pada kondisi yang lebih berat, gejala bisa berupa stroke, pingsan, bahkan kematian mendadak.

Angka Kematian Ibu dan Bayi Tinggi, Ini Dua Faktor Utama Penyebabnya

Ilustrasi stres/sakit kepala/pusing.

Photo :
  • Freepik/freepik

Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Subspesialis Intervensi Elektrofisiologis (konsultan aritmia) di Heartology Cardiovascular Center, dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP(K), menceritakan, banyak kasus aritmia yang sudah dia tangani, baik pasien usia muda maupun lanjut usia, laki-laki dan perempuan. 

Terpopuler: Cara Hilangkan Uban secara Alami, Daftar Superfood untuk Jantung Sehat

Menurutnya, pasien usia muda sering datang dengan keluhan rasa berdebar-debar atau rasa tidak nyaman di dada, yang muncul secara tiba-tiba. Karena kemunculannya yang tiba-tiba, deteksinya seringkali tidak mudah. 

"Selain perekaman jantung menggunakan elektrokardiografi (EKG), kadang diperlukan perekaman kontinu selama beberapa hari supaya mampu mendeteksi gangguan aritmia yang diderita oleh seorang pasien dengan alat Holter Monitor," ujarnya saat Media Gathering bersama Heartology di kawasan Jakarta Selatan, Senin 30 Januari 2023. 

“Belum lama ini kami berhasil mendeteksi gangguan aritmia pada seorang laki-laki muda usia 30 tahun. Keluhan berdebar dirasakan sudah sejak setahun yang lalu, namun rekaman EKG sering ditemukan normal," sambung dia. 

Perekaman irama jantung secara kontinu selama 24 jam kata dokter Sunu, berhasil mendeteksi adanya aritmia, berupa denyut ekstra sebanyak hampir 25 persen dari keseluruhan denyut jantungnya. 

"Obat-obat sudah dikonsumsi, bahkan tindakan kateter ablasi sudah diupayakan di kota lain. Namun keluhan belum membaik. Kegiatan dan pekerjaan sehari-hari sangat terganggu dengan penyakitnya ini. Setelah melalui pemeriksaan yang menyeluruh, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan kateter ablasi 3 dimensi untuk hasil yang lebih presisi dan maksimal," jelas dia. 

ilustrasi sakit jantung

Photo :
  • U-Report

Kateter ablasi sendiri adalah tindakan intervensi non-bedah dengan menggunakan kateter yang digunakan untuk memandu dokter memetakan, melokalisir dan menghancurkan jaringan penyebab impuls listrik tidak normal pada jantung. 

“Pada pasien tersebut, setelah dilakukan ablasi konvensional, gangguan irama jantungnya belum membaik. Namun, dengan teknologi 3D, Alhamdulillah gangguan aritmianya berhasil disembuhkan, sehingga kualitas hidup pasien tersebut jauh lebih nyaman dan beliau tidak perlu minum obat lagi,” ungkap dr Sunu.

Pada kasus aritmia yang lebih kompleks, misalnya atrial fibrilasi (AF) yang berisiko meningkatkan stroke sampai 5 kali lipat, atau ventrikular takikardia (VT) yang bisa mengancam nyawa pasien, dokter Sunu menggabungkan teknologi 3D di Heartology Cardiovascular Center dengan teknologi HD Grid 3D Mapping System untuk meningkatkan keberhasilan tindakan dan mengurangi kekambuhan gangguan aritmianya. 

"HD Grid menggunakan kateter multipolar dan multidirectional yang memungkinkan penggabungan pemetaan magnetic dan impedans secara bersamaan, sehingga tindakan kateter ablasi 3D memiliki tingkat presisi dan akurasi yang tinggi," pungkasnya. 

Menurut dokter Sunu, data klinis menunjukkan bahwa penggunaan teknologi ini mampu menurunkan tingkat kekambuhan AF menjadi hanya sekitar 10 persen setahun pascatindakan (beberapa kali lipat lebih baik dibanding teknologi konvensional).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya