Miris, Ahli Sebut Potret COVID-19 di Tiongkok Serupa Awal Pandemi

Para tenaga medis di Wuhan, China, yang siap menolong pasien virus corona.
Sumber :
  • Twitter/@badiucao

VIVA Lifestyle – Ketika dunia mengira mulai beradaptasi dengan baik terhadap COVID-19 dan bentuk mutasinya, kondisi yang datang dari Tiongkok atau China membawa kita kembali ke masa awal pandemi di tahun 2020. Wuhan yang dulu menjadi episenter COVID-19, seolah berpindah ke Tiongkok dengan potret pandemi yang nyaris serupa.

Dikutip laman The Health Site, potret pandemi di Tiongkok nyaris serupa seperti Wuhan saat awal pandemi. Rumah sakit yang terlalu banyak bekerja, krematorium yang terbebani, dan mayat yang menumpuk membawa kembali ketakutan serupa yang dialami dua tahun lalu. Scroll untuk info selengkapnya.

Dengan perkiraan jutaan orang yang meninggal karena COVID-19 dalam rentang waktu 90 hari, negara ini menderita situasi buruk bak termonuklir, kata seorang ahli epidemiologi. Ini terjadi tepat setelah pemerintah China membuat perubahan haluan mutlak dari kebijakan Zero-COVID.

Kurangnya transparansi dari otoritas China menyebabkan banyak spekulasi tentang situasi tersebut. Ada beberapa kekhawatiran seputar varian baru COVID-19 yang mungkin aktif di negara tersebut. Namun, penjelasan paling populer dari situasi tegang ini adalah perubahan mendadak dari kebijakan yang ketat, rendahnya dorongan vaksinasi di negara tersebut, dan kurangnya kekebalan populasi.

Ilustrasi vaksin COVID-19.

Photo :
  • Pexels/Maksim Goncharenok

Menilik kebijakan COVID-19 di China
China sebelumnya memiliki kebijakan anti-COVID terberat di dunia. Di antara langkah-langkah pencegahan yang ketat adalah penerapan penguncian yang ketat meskipun ada beberapa kasus di komunitas, pengujian massal, pengujian acak yang sering dilakukan, sistem kewaspadaan yang kuat, isolasi ketat di pusat COVID jika seseorang dinyatakan positif, penutupan sekolah dan bisnis kecuali mengizinkan penjualan fasilitas dasar dan memperpanjang penguncian hingga tidak ada kasus yang ditemukan.

Menyusul protes kekerasan terhadap lockdown ketat yang menyebabkan hilangnya ekonomi dan kesehatan mental, pemerintah China mundur dan untuk mendapatkan kembali kendali publik mulai mencabut kebijakan dengan cara yang cepat dan serampangan.

Lockdown yang sebelumnya diberlakukan di lingkungan sekarang dibatasi pada bangunan, sekolah dan bisnis dibuka kembali secara tiba-tiba, paksaan untuk masuk ke pusat karantina terpusat ditarik, pembatasan udara dicabut dan bahkan aplikasi pelacakan nasional dihentikan.

Meskipun perubahan tersebut mungkin terdengar optimis, tetapi cara mengubahnya mungkin terlalu cepat bagi masyarakat untuk beradaptasi yang telah tinggal di lingkungan yang sangat ketat dan protektif yang belum mengembangkan kekebalan kawanan untuk penyakit tersebut.

Pulmonologi Sebut Kondisi Bumerang
Dr Rahul Sharma, Direktur Tambahan, Pulmonologi di Rumah Sakit Fortis (Noida) menjelaskan kemungkinan penyebab lonjakan mendadak kasus di China. Dia menduga ada beberapa alasan untuk lonjakan yang tiba-tiba. Itu bisa terkait dengan kemanjuran vaksin dan cakupannya di dalam negeri, bisa jadi varian tertentu yang beredar di luar sana atau pelonggaran pembatasan yang tiba-tiba ini. 

Ilustrasi COVID-19/virus corona.

Photo :
  • Pixabay/mattthewafflecat

"Hal lain bisa jadi informasinya dan celah data yang harus diisi agar kami mengetahui situasi sebenarnya di sana," katanya.

Dr Sharma mengungkapkan pandangannya tentang kebijakan yang ketat dan mengatakan bahwa seseorang dapat mengatakan bahwa kebijakan itu gagal total karena telah membuat China kembali ke masa lalu ke situasi rentan yang sama dan sekarang keluar dari cengkeraman pihak berwenang. Ia turut berbicara tentang pentingnya kekebalan kelompok.

"Kekebalan kelompok adalah bagian penting dari cakupan vaksinasi massal COVID dan memberikan kekebalan yang kuat untuk melawan infeksi apa pun di masyarakat. Ini adalah senjata penting melawan perubahan ketenaran virus dan mengurangi kemungkinan penyakit parah dan kematian," bebernya.

Terakhir, Dr Sharma menyampaikan bahwa situasi di China merupakan ancaman bagi setiap negara dan dapat berdampak secara global jika tidak dikendalikan secara sistematis.

Prabowo Ungkap Perusahaan Indonesia Kontrak dengan Korporasi China, Nilainya USD 10 Miliar

Dia mengatakan seberapa baik penyebaran itu ditahan dan seberapa proaktif negara lain dalam mencegah penyebaran lintas batas akan menjadi hal yang paling penting saat ini. Sebagai peringatan pencegahan, ahli menginformasikan bahwa jika situasinya tidak dikendalikan secara efektif, kemungkinan akan ada gelombang baru di setiap negara lain.

Lagi Tren Fisioterapi ke Rumah untuk Pasien Pemulihan Stroke, Seberapa Efektif?
Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Bakrie

Berita Foto: Ketum Kadin Anindya Bakrie Hadiri State Dinner di Beijing

Ketum Kadin Anindya Bakrie menghadiri undangan State Dinner atau jamuan makan malam kenegaraan dari Presiden Prabowo Subianto di Aula Emas, Balai Agung Rakyat, Beijing.

img_title
VIVA.co.id
10 November 2024