WHO Sebut Campak Akan Jadi Ancaman Berbahaya Secara Global
- Times of India
VIVA Lifestyle –  Salah satu konsekuensi terbesar dari pandemi COVID-19 adalah berkurangnya akses ke perawatan kesehatan reguler dan rutin. Hal ini menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi untuk berbagai penyakit mematikan seperti campak, rubella, hingga polio.Â
Di Indonesia sendiri, polio kembali muncul di Aceh. Sementara itu, dunia pun sedang dalam ancaman penyakit campak akhir-akhir ini. Bahkan, penyakit campak merenggut hampir 18 nyawa di India, Maharashtra dan masih menjadi ancaman di negara bagian itu.Â
Tampaknya, campak juga menjadi ancaman besar di dunia karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap perlu untuk mengumumkannya sebagai, ancaman yang akan segera terjadi di setiap wilayah di dunia. Namun, apa alasan campak menjadi ancaman global?
Dikutip dari The Health Site, menurut data yang disajikan oleh WHO, pada tahun 2021 hampir 40 juta anak melewatkan setidaknya satu dosis vaksin campak dan akibatnya, hal itu memengaruhi kesehatan mereka hari ini. Penyakit campak adalah penyakit virus pernapasan yang penularannya sangat mirip dengan COVID-19. Penularan penyakit melalui udara dan dapat menyebar melalui aerosol dan tetesan pernapasan.Â
Gejala utama infeksi ini tidak seperti COVID kecuali demam tinggi. Campak juga disertai dengan ruam dan bisa terasa gatal atau nyeri. Ini adalah gejala kasus ringan tetapi bisa juga parah seperti, ensefalitis, radang paru-paru dan kebutaan. Setiap tahun, ada sekitar 128.000 kematian akibat campak di seluruh dunia.
Dampak anti vaksin campak
Orang-orang yang menganjurkan untuk tidak melakukan vaksin telah menjadi suatu hal krusial. Ini sebagian besar terjadi karena informasi palsu, cerita menakutkan, rumor. Misalnya, mantan dokter dan aktivis anti vaksin Andrew Wakefield membuat orang percaya bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme.Â
Rupanya, kepercayaan ini masih bertahan karena itu orang juga takut dan berhenti memvaksinasi anaknya. Informasi yang salah sejak dimulainya pandemi COVID telah tersebar luas. Dan ada risiko informasi yang salah ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkat keraguan yang lebih besar dan penolakan vaksin untuk imunisasi rutin.
Â