Cegah Stigma, WHO Resmi Ganti Nama Monkeypox Jadi MPOX
- Freepik
VIVA Lifestyle – Monkeypox atau cacar monyet telah resmi berganti nama dalam upaya untuk menghentikan rasisme. Pergantian nama penyakit tersebut resmi dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO untuk mencegah munculnya stigmatisasi dari pandangan masyarakat di dunia.
Dikutip dari laman The Sun, Atasan di WHO mengatakan bahwa orang-orang telah menggunakan bahasa yang cenderung rasis dan menstigmatisasi di media sosial selama wabah cacar monyet meluas secara global tahun ini. Kini, WHO mengumumkan penyakit itu akan disebut dengan "mpox". Scroll untuk informasi selengkapnya.
Kasus pertama yang tercatat pada manusia terjadi di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970-an dan wabah secara historis terjadi di Afrika Barat. Para ahli juga berpendapat tikus dan tupai sebenarnya adalah inang utama penyakit, bukan monyet, meskipun primata dapat terinfeksi.
Lonjakan kasus cacar monyet Inggris telah berakhir, dengan hanya sembilan infeksi baru dalam minggu terakhir, dari total 3.543 sejak Mei 2022. Sebagian besar orang Inggris yang tertular virus adalah pria gay yang dirawat di klinik kesehatan seksual.
Wakil dari badan amal HIV Terrence Higgins Trust, Glenda Bonde, berkata bahwa peralihan menggunakan mpox adalah hal yang tepat. Sebab, bahasa memiliki pengaruh besar dalam melanggengkan stigma dan diskriminasi.
“Nama 'cacar monyet' berperan dalam stereotip rasial dan rasis dan merugikan respons kesehatan masyarakat," tambahnya.
WHO mengatakan baik monkeypox dan mpox akan digunakan untuk masa transisi selama setahun, setelah itu agensi akan menggunakan nama baru. Pedoman mengatakan nama tempat dan hewan tidak boleh digunakan saat menamai penyakit, untuk menghindari diskriminasi, seperti WHO menolak merujuk Wuhan, China, atau kelelawar saat menamai COVID-19.
Adapun, gejala cacar monyet meliputi demam, kelelahan, nyeri otot, dan ruam atau lecet pada kulit. Namun, National Health Service (NHS) Inggris telah memvaksinasi 56.000 orang dengan risiko tertinggi tertular penyakit ini, dan akan menawarkan dosis kedua, tetapi pejabat mengatakan risikonya bagi publik rendah.