Ki Joko Bodo Alami Hipertensi Sebelum Wafat, Ini Tips Cegah Darah Tinggi Kambuh
- Times of India
VIVA Showbiz – Ki Joko Bodo telah mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa pagi, 22 November 2022. Ada pun mantan peramal yang telah hijrah itu meninggal di usia 57 tahun itu sempat mengeluhkan hipertensi atau tekanan darah tinggi yang kerap kambuh.
"Sebelumnya saya mau ngucapin ayah saya Agung Yulianto biasa dikenal Ki Joko Bodo telah meninggal dunia tadi pagi pada pukul 10 pagi. Ayah meninggal emang ada penyakit yaitu ada darah tinggi dan memang tiba-tiba aja meninggalnya," kata Refo, anak Ki Joko Bodo, di rumah duka, kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, dikutip dari Intipseleb.
Refo menambahkan bahwa kambuhnya hipertensi yang dialami mendiang ayahnya itu membuat keluarga setuju untuk membawa ke rumah sakit pada hari Kamis mendatang. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Hal itu dilakukan untuk tetap mengontrol sakit darah tinggi yang telah lama diidapnya dan kerap kambuh selama beberapa minggu terakhir.
"Kalau sakit memang dari dulu memang udah ada penyakit bawaan. Cuma sebulan ini kambuh lagi dan seperti itu," tambahnya.
Meski begitu, mendiang Ki Joko Bodo sendiri meninggal dunia saat pagi hari usai melakukan rutinitasnya dengan mandi dan berjemur.
Di momen berjemur di bawha matahari itu lah, Ki Joko Bodo sudah meregang nyawa tanpa menunjukkan tanda apapun.
"Meninggalnya sebenernya waktu pagi tadi habis mandi. Habis mandi kan biasanya keluarga jemur ayah, tiba-tiba waktu dijemur udah enggak ada," ucap Refo.
Tekanan darah tinggi (hipertensi) menjadi salah satu kondisi yang mengintai tubuh dan sulit dikenali lantaran tak memiliki gejala khas.
Hal itu memicu banyak orang menyepelekan hipertensi yang faktanya, bila diabaikan, dapat berdampak mematikan pada otak. Berikut fakta mengenai hipertensi yang patut diketahui berdasarkan rangkuman VIVA.
Dampak Hipertensi
Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darahnya lebih di atas angka ideal yakni 120/80 mmHg. Pada kondisi hipertensi yang terus menerus terjadi, dapat menyebabkan gumpalan darah otak mengeras.
Bahkan, hipertensi yang diabaikan membuat aliran darah menuju otak terhambat sehingga memicu terjadinya stroke.
"Hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian stroke," ujar Dokter Spesialis Saraf RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, dalam webinar.
Stroke yang terjadi bisa dimulai dari skala ringan yakni Transient Ischaemic Attack / TIA. Hingga mencapai stroke berat yang bisa menyebabkan kecacatan menetap dan mengancam jiwa, terutama jika Hipertensi tidak ditangani.
Lebih dalam, dokter Eka mengatakan bahwa setiap kenaikan tekanan darah sistolik 2 mmHg akan meningkatkan risiko Stroke 10 persen pada orang dewasa. Hipertensi sendiri ditemukan pada 64-70% kasus stroke.
"Secara mekanisme, tekanan darah tinggi pada dasarnya menyebabkan kerusakan sel dinding pembuluh darah (sel endotel) dan juga mengganggu fungsi dari otot di dinding pembuluh darah nadi atau arteri. Kondisi ini dapat membuat arteri menjadi kaku dan tersumbat," tuturnya.
Faktor Risiko
Di kesempatan berbeda, dokter spesialis saraf konsultan neurodegeneratif dr. Dyah Tunjungsari, SpN (K) dari Rumah Sakit Pondok Indah mengatakan bahwa ada dua faktor risiko stroke yakni yang dapat diubah dan tidak diubah.
Salah satu yang dapat diubah adalah pola makan yang memicu stroke. Dokter Dyah menuturkan bahwa biang kerok stroke usia muda adalah hipertensi dan kolesterol tinggi.
"Hipertensi, gula darah tinggi, kolesterol tinggi dapat dimodifikasi, otomatis pasien-pasien yang tidak jaga makan, kurang serat, konsumsi lemak jenuh l, maka bisa sebabkan terjadinya faktor risiko stroke," ujarnya dalam media virtual RSPI bertajuk Transcranial Magnetic Stimulation (TMS).
Ada pun faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti genetik, jenis kelamin, dan ras.
Namun, ketika ada riwayat stroke pada keluarga, faktor yang dapat dimodifikasi harus dilakukan sejak dini. Termasuk juga dengan olahraga dan nutrisi seimbang.
"Lakukan pemeriksaan kesehatan rutin, apalagi bila ada riwayat stroke di keluarga," tambah dokter Dyah.
Tidak Bisa Sembuh tapi Bisa Dikontrol
Tekanan darah tinggi atau hipertensi tak dapat diobati namun bisa dikendalikan dengan menjaga pola hidup sehat, konsumsi makanan bergizi, serta aktif berolahraga.
Kendati begitu, pengendalian hipertensi rupanya juga bisa dilakukan dengan mengonsumsi obat anti-hipertensi yang kerap diabaikan banyak orang.
Dokter Spesialis Saraf RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S menjelaskan bahwa seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
"Salah satu yang menjadi tantangan dalam penanganan hipertensi adalah pasiennya kadang tidak sadar kalau mereka mengidap hipertensi dan baru ketahuan saat tekanan darah sudah di angka yang sangat tinggi," tuturnya dalam webinar.
Terkait pengobatan Hipertensi untuk mencegah stroke, selain pencegahan primer, pencegahan sekunder juga tidak kalah penting.
Hipertensi sendiri tak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan dengan pola hidup sehat dan konsumsi obat.
"Selain efektivitas dan keamanan obat, saat memilih obat juga perlu mempertimbangkan kestabilan dosis obat dalam darah yang dapat mempertahankan tekanan darah dalam 24 jam sehingga frekuensi pemberian obat bisa dikurangi," tuturnya.